Polaris adalah bintang utara yang biasa menjadi penunjuk arah bagi para musafir. Dan ia selalu pada tempatnya, setia.
”Rin, aku ingin terbang ke Polaris.”
Rina langsung terbangun, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Ya, mimpi itu datang lagi. Masih dengan kalimat yang sama dari seorang Andin, teman semasa SD-nya dulu. Dan yang ini sudah ketiga kalinya Rina mendapat mimpi itu. Rina mendesah, perasaannya sudah tak enak sejak pertama kali ia bermimpi seperti itu.
Rina melirik jam weker di samping tempat tidurnya, jam ½ 6. Dengan tergesa, Rina pergi ke kamar mandi. Sejak mimpi itu datang, ia selalu tak mendapat kesempatan untuk shalat malam. Bahkan pada saat mandi dan shalat pun mimpi itu masih membayangi pikirannya.
”Bu, ibu masih inget sama Andin?” tanya Rina pada ibunya saat mereka sarapan.
”Andin?” keningnya berkerut saat mendengar pertanyaan Rina.
”Itu lho bu, temen Rina pas SD. Yang sering main ke rumah, yang jago taekwondo itu.”
“Ooo, yang rambutnya sering diekor kuda itu ya?”
”He-eh. Kok tiba-tiba Rina keinget terus sama dia ya bu?”
”Kangen kali. Udah berapa tahun coba kamu gak ketemu dia kan?” jawab ibunya
7 tahun. Sudah 7 tahun dia tidak bertemu dengan Andin hingga kini ia duduk di kelas 1 SMA.
”Yee, dasar pincang!”
”Kita lomba adu lari yook!”
Cemoohan-cemoohan seperti itu menyambutnya saat pertama kali masuk ke ruangan kelas 4 SD N 1 Palembang. Rina meringis, air matanya seakan sudah tak betah berada di dalam kelopak matanya. Di sekolah sebelumnya, dia tak pernah mendapat ejekan seperti ini.
”Heh, kok diem aja? Nangis ya?” seorang anak laki-laki bertubuh gempal menyadarkan lamunannya.
”Kan katanya larimu cepat. Kayak....” ”Kayak siput.” yang lain menimpali.
Dan air mata Rina pun tak terbendung lagi. Ia menangis. Jika saja ia tak sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan banyak orang, mungkin kruk yang menyangga tubuhnya sudah terlepas. Namun air matanya semakin deras mengalir, tatkala suara-suara tawa di hadapannya memenuhi gendang telinganya.
”Heh, kalian ini apa-apaan sih? Beraninya ganggu orang yang lemah.” sebuah teriakan menggema di ruangan kelas itu. Suara tawa mendadak hilang, sebab seseorang yang biasanya tukang biang onar menolong seseorang yang sedang diejek.
Anak itu mendekati Rina sambil menyapanya lembut. ”Kamu gak papa kan? Maafin mereka ya, anak-anak kelas ini hobinya itu.”
Rina menggeleng pelan, lalu mencoba membenarkan letak kruk yang hampir terjatuh.
”Namaku Andin.” katanya sambil mengulurkan. ”Aku udah tahu namamu. Nggak usah ngenalin lagi, Rina. ”
Rina terheran. Andin yang melihat hal itu berkata, ”Kamu kan tadi udah kenalan di depan kelas, jadi nggak usah ngenalin diri lagi.” jelasnya sambil tersenyum. Dan Rina pun ikut tersenyum.
”Heh, Andin! Ngapain kamu temenan sama anak cacat kayak dia. Kamu pasti nyari mangsa baru buat dapet contekan. Iya kan?” suara si gempal itu lagi, yang disambut tawa riuh anak sekelas.
Bak, Buk! Rina terkaget, si gempal itu langsung dipukul oleh Andin.
”Heh, jangan main-main ya! Aku kali ini tulus nolongin dia! Nggak kayak kamu, yang kalo temenan pasti punya maksud. Awas kamu kalo sampe nyakitin dia.....” jawab Andin sambil meremas-remas jari tangaanya.
Lalu tawa-tawa itu berhenti bergaung. Siapa pun tahu kalau Andin jago taekwondo. Sudah sering ia mengikuti kejuaraan-kejuaraan taekwondo di kota Palembang.
Dan sejak itu, Rina pun bersahabat dengan Andin. Andin memang tidak pintar, ia sering menyontek pekerjaan Rina jika otaknya sudh tidak mampu lagi mencerna penjelasan dari guru ataupun Rina yang mencoba membantunya, yang membuat Rina hanya geleng-geleng kepala. Tapi, di balik sikapnya yang begitu tomboi, Andin pintar membuat puisi yang sering diberikannya kepada Rina. Dan satu lagi yang membuat Rina tak ragu bersahabat dengan Andin, karena tali persahabatan yang diulurkan Andin begitu tulus
”Din, aku boleh tanya gak?” kata Rina siang itu seusai sekolah.
”Hmmm......” jawab Andin singkat, ia masih asyik memainkan kaki-kakinya di telaga kecil di belakang sekolah. mereka memang sering pergi ke situ sepulang sekolah sambil kadangkala mengerjakan tugas yang diberikan guru. Atau hanya untuk bermain-main.
”Kenapa kamu mau berteman sama anak cacat kayak aku ini?”
Andin menatap Rina dalam. Lalu pandangannya dialihkan ke air telaga yang memantulkan bayangan wajahnya.
”Aku cuma gak penging kamu kayak adikku”
”Kamu punya adik?”
”Dulu. Dia juga cacat kayak kamu. Dan dia meninggal gara-gara tidak ada kepedulian dari orang tua kami. Aku juga dulu jarang bermain dengannya. Setelah dia nggak ada, aku baru sadar kalo aku butuh teman di rumah dan teman itu udah gak ada.” jelas Andin. ”Dan aku gak mau kehilangan teman lagi.”
Rina terdiam. Lalu memegang lembut bahu Andin.
”Rina, bisa kamu sebutkan di mana saja habitat Paramaecium?” Nina yang duduk di sebelah Rina menyenggol pelan siku Rina. Namun, rupanya alam pikiran rina masih melayang di antara telaga kecil di belakang sekolahnya dulu.
”Rina?” Pak Rudi, guru biologi, mengulangi panggilannya.
”Rin, ditanya Pak Rudi tuh.”
Dan Rina pun tersadar dari lamunannya. ”Eh, iya Pak. Di telaga belakang sekolah, Pak.” jawabnya asal. Jawaban Rina itu kontan membuat seisi kelas tertawa. Dan rina menyadari bahwa lamunannya terlalu lama untuk berada di dalam kelas. Rina pun menunduk dengan muka memerah karena malu.
”Kamu sedang mikir apa sih rina? Akhir-akhir ini kamu sering melamun, Bapak Khawatir nanti nilaimu pada turun.” nasihat Pak Rudi.
”Maaf, Pak. Lain kali saya tidak akan melamun lagi.”
Dan Pak Rudi pun melanjutkan pelajarannya tanpa memperpanjang masalah itu.
-Tuhan...
Bisa kah Kau terbangkan driku merambah jomantara
Lalu.....
Bawa aku ke Polaris
Aku ingin meletakkan semua memori ini
Tentang Ayah,
Tentang ibu,
Tentang semuanya,
Yang buat hidupku tak berwarna
Ku ingin semua itu tak ada, Tuhan
Ku lelah dengan semua itu
Ku ingin meletakkan semua itu di sana, meninggalkannya
Lalu kembali ke sni
Dengan memori baru hiasi diriku
Tuhan, bisakah?
Hanya sebentar, ku takkan lama
Ku takkan lama Tuhan
Tuhan...
Q ingin Polaris-
Rina tertegun, saat melihat pusis di dalam buku Matematika milik Andin. ”Din, ini maksudnya apa sih?” tanyanya.
”Nggak ada maksud, aku cuma pengin pergi ke Polaris.”
”Polaris, apaan tuh?”
”Bintang utara.” jawab Andin singkat
Dan Rina masih juga tak mengerti. Polaris?
”Din, kamu punya masalah ya? Kalo ada ngomong dong?”
”Masak sih Rin? Emangnya aku kelihatan punya masalah?” Andin mematahkan dugaan Rina. Rina terdiam. Ia tahu, Andin memang selalu ceria, seakan tak pernah punya masalah. Tapi Rina masih tak mengerti juga dengan puisi Andin.
-Aku ingin meletakkan semua memori ini
Tentang Ayah,
Tentang ibu,
Tentang semuanya,
Yang buat hidupku tak berwarna
Ku ingin semua itu tak ada, Tuhan
Ku lelah dengan semua itu-
Andin pasti punya masalah, batinnya. Tapi kenapa gak mau ngomong. Dia kan sahabatnya. Sungguh ia ingin katakan semua itu pada Andin, tapi lantaran tak rela melihat ceria di wajah Andin lenyap. Maka Rina pun hanya terdiam.
Andin masih asyik memainkan kakinya di air, sore itu sungguh mesra dengan cahaya jingga yang menyemburat memenuhi langit. Dengan alang-alang yang terus berayun lembut karena angin sepoi. Dan matahari yang seakan tak jua ingin beristirahat. Mereka benar-benar tak ingin meninggalkan telaga sore itu, jika saja mereka tak sadar bahwa orang tua mereka pasti menunggu.
Dan kali itu, adalah saat terakhir Rina melihat wajah ceria Andin. Esoknya, ia tak lagi melihat Andin. Bahkan saat Rina menyambangi rumahnya, hanya sunyi yang menyambut kedatangannya.
”Din, apa kamu sudah terbang ke Polaris?”
Jalanan siang itu sepi. Rina –masih dengan kruknya- berjalan tertatih menyusuri jalanan itu. Rumahnya memang tak jauh dari sekolahnya, yang membuatnya memilih berjalan sat berangkat dan pulang sekolah.Tiba-tiba beberapa anak kecil menghalangi langkahnya.
”Eh, liat deh. Mbak pincang lewat lagi.”
”Pasti kruknya lebih cepet daripada motor, makanya dia pake kruk terus.”
Lalu terdengan tawa-tawa riuh memecah sunyi jalanan. Rina hanya tersenyum. Telinganya sudah kebal mendengar semua itu. Dan ia bertekad tidak akan pernah mengeluh. Rina berhenti sejenak di tempat yang agak sunyi, di dekat kebun mangga milik Pak Amir, mencoba melepaskan lelah yang menderanya. Tiba-tiba ekor matanya menangkap bayangan seorang gadis dengan baju seragam SMA yang dipakai asal-asalan dan ukuran yang diperkecil. Gadis itu –yang tak melihat Rina karena tertutup pohon mangga- dengan perlahan berkata, ”Tuhan, mungkin dengan ini aku bisa terbang ke Polaris.” sambil mengeluarkan silet dari saku roknya.
Lau, dengan sekejap pikiran Rina tentang Andin. Polaris.
”Andin, jangan!” teriak Rina sambil berusaha mendekati Andin.
Gadis itu –Andin- menoleh kaget. ”Rina?”
”Andin, jangan! Jangan lakukan itu!”
Dan Andin pun roboh. Dia bertekuk lutut tak berdaya. Bulir-bulir bening menetes dari kedua mata beningnya.
”Andin, apa yang kamu inginkan? Kenapa kamu bertindak gegabah begini?”
”Rina.......aku tadi hampir menuju Polaris. Kenapa kamu menghentikanku?”
Rina sungguh tak mengerti. Ia benar-benar tak percaya bahwa gadis di hadapannya adalah Andin. Andin yang dulu ia kenal sebagai seorang yang selalu ceria, sebagai seorang yang kuat menghadapi apa pun. Ia benar-benar tak percaya, gadis dengan penampilan urakan dan mata yang terlalu sayu itu benar-benar Andin, teman SD-nya dulu.
”Andin........ini benar-benar kau?”
”Ya. Ini masih aku, Rin. Masih Andin teman SDmu dulu. Masih Andin yang jago taekwondo.”
Rina masih menatapnya tak percaya. ”Din, kamu sekarang tinggal di mana?” tanyanya.
”Aku ingin tinggal di Polaris. Tapi mungkin sekarang kolong jembatan tempat yang pas buatku.”
”Apa?”
Andin tertawa. ”Ya nggaklah, Rin. Rumahku masih yang dulu.”
Rina pun tersenyum. Dia masih Andin yang dulu, yang penuh humor.
”Rin, kamu sekarang pake jilbab jadi tambah putih. Tadi aku sampai pangling. Kamu kan dulu item.” candanya.
Rina cemberut. Bisa-bisanya Andin berkata seperti itu. Rina hampir tak percaya bahwa Andin yang sering bercanda ini tadi hampir bunuh diri.
”Din, tadi kenapa kamu...?” pertanyaan Rina belum sempat terselesaikan karena Andin sudah duluan menyahut, ”Udah dulu ya Rin, aku mau pulang. Ntar dimarahin Papa.”
”Tapi Din, kamu gak bakalan bunuh diri kan?”
Andin hanya mengangkat bahu, ”Kapan-kapan main ke rumah ya?”. Lalu pergi meninggalkan Rina yang terdiam bingung. Pikirannya benar-benar cemas. Andin...jangan bunuh diri. Nanti kamu gak bisa ke Polaris...
Rina menatap langit kelam malam itu. Ah, Andin, di mana Polaris yang kamu cari itu? Kenapa kamu pengin pergi ke sana? Apa yang pengin kamu lakukan di sana? Kenapa aku gak boleh tahu masalah apa yang menimpamu? Kamu masih ngganggep aku sahabatmu kan?. Pertanyaan demi pertanyaan terus membatin di batin Rina. Dan ia benar-benar tak tahu harus bicara apa pada sahabatnya itu.
Sekali lagi, Rina manatap langit malam itu. Tak banyak bintang. Namun entah kenapa ia begitu ingin keluar rumah. Bergegas ia mengambil kruknya yang bersandar pada meja belajarnya. Tak lupa ia mengenakan jilbab untuk menutupi mahkota hitam miliknya.
”Rin, mau ke mana? Tumben-tumbenan keluar malem?” tegur ibunya saat Rina dengan sedikit tertatih menuju pintu depan.
”Cuma mau ke depan kok Bu. Malem ini entah kenapa Rina pengin banget ngeliat langit.
Ibunya terdiam. Melihat langit? Benar-benar suatu hal yang sangat jarang putrinya lakukan.
Rina melangkah keluar. Malam ini langit seakan tak mau berhias diri. Polaris. Di mana Polaris itu? Yang tampak di mata Rina hanyalah beberapa bintang berukuran sama dan berkerlap-kerlip.
”Ah, semua bintang sama. Di mana Polarismu itu Andin?” keluhnya.
”Semua bintang tidak sama, Nona. Harusnya kau pergi ke Observatorium Bosscha kalau ingin membedakan bintang.” sebuah suara yang tidak asing lagi menggetarkan tulang-tulang pendengaran Rina. Ia menoleh. Sosok itu, Andin.
”Andin, ngapain kamu ke sini?” tanya Rina heran.
”Oh, jadi rupanya aku gak boleh main ke sini lagi to? Ya udah, mendingan aku pulang aja.”
””Eh, bukannya gitu. Aku cuma....” Rina jadi merasa tak enak.
”Rina, Rina. Kamu masih sama kayak dulu. Begitu polos kalo diajak bercanda.” Andin tertawa.
”Rin, kamu tahu kenapa aku begitu menyukai Polaris?”
Rina mendekat, kini Andin mau mengungkap sesuatu yang sejak dulu disimpannya. ”Kenapa?”
”Karena Polaris adalah bintang paling setia dan terang. Aku memang hanya pernah sekali melihatnya, tapi ia benar-benar telah mempesonakan mataku. Dia biasa menjadi penunjuk arah bagi para musafir yang tersesat. Dari dulu aku berharap, bisa menemukan Polaris untuk diriku. Dan aku ingin pergi ke sana, mungkin dia akan memberiku petunjuk atas semua ini. Ah, Polaris, bintang utara, aku benar-benar ingin ke sana. Aku ingin meletakkan...”
”Meletakkan semua masalahmu? Sebenarnya kamu punya masalah apa sih?” potong Rina.
Andin yang sedang menatap langit menoleh, lalu tersenyum. Lama, begitu lama. Namun sedetik kemudian, Andin menangis.
Rina panik melihat keadaan sahabatnya yang begitu cepat berubah. ”Din, kamu ngapa? Kok tiba-tiba nangis?”
”Rin, kenapa aku punya masalah begitu banyak, dan dari dulu gak pernah selesai? Aku gak kuat lagi, Rin. Papa sama mama sekarang kerjaannya cuma debat di meja pengadilan, dah gak pernah mikirin aku lagi. Aku sedih Rin, mereka memang dari dulu gak pernah merhatiin aku, tapi aku tetep sedih. Waktu itu aku pergi karena mereka ngajak aku sekolah di Inggris, tapi mereka akhirnya tahu bahwa itu nggak ada artinya. Apalagi, mereka mau membuang diriku. Aku dianggap tak berguna karena masuk jurusan bahasa, gak masuk IPA. Padahal di IPA aku bisa apa Rin? Dan juga Rin, aku hamil.” cerita Andin sambil terisak.
”Apa Din, kamu....kamu hamil?” bagai ada palu godam yang menghantam kepala Rina. Dia sungguh tak menyangka jika sahabatnya terseret kehidupan begitu jauh.
”Aku gak tahu lagi Rin harus gimana. Ku kira rokok, narkoba, ma pacaran bisa ngilangin semua frustasiku. Apalagi temen-temenku udah aku anggap Polarisku. Tapi mereka nggak setia, Rin. Dan gak ada Polaris yang nggak setia. Apalagi si Miko sialan itu, dia pergi gak tahu ke mana setelah nyuruh aku aborsi. Aku gak tahu lagi, Rin. Gak tahu lagi harus sama siapa aku minta tolong?”
”Kamu...udah minta tolong sama Allah, Din?”
Andin menoleh, ”Allah?” tanyanya heran. Rina tersenyum, dia tahu dari dulu bahwa sahabatnya memang jarang mendekatkan diri kepada Allah, bahkan setahu Rina tak pernah. Dan ia menyesal baru bisa mengatakannya sekarang. Ia menyesal kenapa tak dari dulu membantu masalah Andini. Dan memang penyesalan selalu datang di akhir, kala semua peristiwa telah terjadi.
”Iya, Din. Kamu belum minta tolong sama Allah? Cuma Dia yang bisa nolong kamu dari semua masalah kamu. Kenapa kamu gak nyoba dekat dengan-Nya?”
Andin menggeleng pelan, ”Aku udah terlalu lama ngelupain dia Rin, dia pasti udah ngelupain aku. Dan sekarang, saat aku inget, aku udah terlalu banyak ngelakuin kesalahan. Aku udah gak ada artinya di hadapan-Nya. Aku udah terlalu hina, Rin. Mungkin lebih baik aku pergi ke Polaris, di sini gak ada Polaris Rin. Aku bakalan naro semua masalah ini di sana. Aku pingin banget Rin memulai hidup yang baru tanpa mengingat-ingat kembali semua yang telah aku alamin.”
Rina menatap Andin lama. Ia sungguh tak mengerti jalan pikiran gadis itu. Kenapa hanya Polaris yang menurutnya bisa mengeluarkannya dari masalah. Kenapa ia tak berpikir bahwa Allah-lah yang bisa menenangkan hatinya, dan membantunya keluar dari segala masalah ini. Kenapa?
”Nggak Din, kamu nggak boleh berpikir kayak gitu. Andin yang aku kenal dulu adalah Andin yang selalu optimis. Dan Allah, telah menjadi Polaris untukmu Din. Dia bisa membantumu menemukan jalan keluar, Dia selalu setia Din, Dia gak akan pernah ninggalin kamu. Dan nggak pernah ada kata terlambat untuk bertobat bagi mereka yang sungguh-sungguh mau bertobat. Dan Dia past mengabulkan tobatmu, mengampuni kesalahanmu, dan memberikan titik terang untuk segala masalahmu Din, percayalah.”
Andin tersenyum, ”Tapi, Rin, aku sudah dekat dengan Polarisku.”
Rina merasakan ada sesuatu yang bergemuruh tak karuan di hatinya, tapi ia tak tahu.
”Rin, aku pulang ya. Udah terlalu malam.”
Rina menatap kepergian sahabatnya dengan perasaan tak menentu. Dan gemuruh itu bergemuruh lebih kencang. Ya Allah, lindungilah ia.
Sesampainya di rumah, Andin merasakan perutnya melilit hebat. Ia menangis. Rupanya baru sekarang obat itu berpengaruh pada janin yang dikandungnya. Tangisnya semakin deras, sebuah do’a terucap dari lubuk hatinya, ” Ya Allah, Polarisku, apakah dirimu mau memaafkan diriku yang telah membunuh seorang nyawa tak berdosa?”
Sejenak kemudian, dengan tertatih, Andin melangkah menuju ke kamar mandi. Ia belum shalat Isya. Dengan tangan gemetar, diputarnya kran untuk berwudhu. Dan lalu, untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, shalat itu pun dilakoni Andin.
Setelah shalat, lilitas di perut Andin semakin mengehebat. Dirinya tak kuasa lagi, ia benar-benar lumpuh total. Namun tangannya masih sempat mengambil secarik kertas dan pena, menuliskan sesuatu di atasnya. Dan setelah itu,
”Asyhadu alla ilaa ha illallah, wa asyhadu annaa muhammadar rasulullah”
mengalir manis dari kedua bibirnya.
”Rin aku sudah sampai di Polaris.”
Mimpi itu datang lagi, dan semakin membuat gemuruh di hati Rina tak karuan. Firasatnya mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu pada Andin. Dengan tergesa-gesa Rina shalat shubuh, lalu menyiapkan peralatan sekolahnya.
”Yah, nanti antarkan aku ke rumah Andin dulu ya?” pinta Rina pagi itu.
”Andin? Teman SDmu itu? Memang rumahnya masih yang dulu?” tanya Ayahnya.
Rina mengangguk. Lalu bergegas menuju halaman untuk menunggu ayahnya siap.
Rumah dengan pagar menjulang itu sepi. Gerbangnya terbuka begitu saja dengn alang-alang di sana-sini.
”Yang ini kan Rin rumahnya? Kok sepi?” tanya Ayahnya.
Tapi tanpa berkata-kata lagi, Rina dengan kruknya bergeas menuju pintu depan. Tanpa pikir panjang, Rina langsung membuka pintu tersebut. Tak dikunci, lalu ia bergegas menuju kamar Andin. Sebuah tubuh tergeletak dengan balutan mukena.
”Andin...Andin, bangun Din.” Rina menggoyang-goyangkan tubuh Andin. Tanpa sengaja Rina melihat secarik kertas dengan sepotong pusisi yang digenggam Andin.
-Ya Rabb,
Turunkanlah kabar gembira bagiku
Di mana bukan hanya Polaris yang menungguku
Namun syurga
Dengan keindahan luar biasa yang mampu
Manjakan mata ini Ya Rabb
Dengan sentuhan cinta di setiap zatnya
Sentuhan cinta-Mu
Ya Rabb,
Ku ingin cinta-Mu
Ku ingin syurga-Mu
Karena kau, Polaris bagiku-
Rina menangis. Sungguh tak kuasa ia mengubah semua keadaan yang ada di hadapannya.
Dan pagi itu sungguh indah. Di mana seorang penanti Polaris telah mendapatkan Polarisnya. Polaris yang begitu setia, dan Dia ada di dekatnya. Dan Dialah, Allah Azza wa Jalla, Sang Pemilik Cinta, telah menurunkan cinta-Nya ke Bumi untuk hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan cinta itu sungguh setia, seperti Polaris.
Wanna More.?