rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Selasa, 22 April 2008

Euforia Mimpi

Suara gaduh di sekitarku membangunkanku dari lelapnya tidur. Aku merenggangkan otot-otot tubuhku. Aahhh….enaknya, entah kenapa kasurku berubah menjadi begini empuk. Aku membuka mataku, terpampang di hadapanku kursi-kursi yang tertata rapi dan seorang pramugari yang sedang berbicara yang aku sama sekali tidak tahu maksudnya. Aku memicingkan mata, seingatku, tadi aku berada di atas tempat tidurku, bukan di tempat….yang kalau tidak salah disebut pesawat terbang!
Orang-orang disekitarku sudah terlihat sibuk mengemasi barang-barang bawaannya. Mereka terus saja berisik dan aku terus saja tidak mengerti. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, siapa tahu aku juga membawa barang bawaan. Tapi….kosong, tidak ada apa-apa! Aku benar-benar kesini dengan tangan hampa, dan tempat yang aku sendiri tak tahu persisnya di mana! Sekali lagi, aku menoleh ke orang yang ada di sampingku, aku perhatikan wajahnya baik-baik. Mukanya oval agak panjang sedikit, rambutnya lurus dengan poni yang dibelah ke samping kanan. Dia sudah siap dengan koper bawaannya, lalu menoleh ke arahku yang sedang kebingungan. Dari balik kacamata coklatnya, aku tahu aku pernah melihat wajahnya. Mungkin di majalah atau di internet, dia tak asing bagiku. Dan………
“Shin Hye-sung!” kataku setengah berteriak.
Wajah di depanku terlihat agak terkejut. “Ya, saya Shin Hye-sung. Anda……..eh, salam kenal.” Katanya terbata-bata sambil membungkukkan badan.
Ajaib. Aku mengerti apa yang dia katakan. Padahal tadi aku sama sekali tidak mengerti apa yang orang-orang di sekitarku katakan. Bahkan aku pun baru sekali belajar bahasa korea, tentu saja harusnya belum bisa mengerti apa-apa. “Salam kenal juga. Perkenalkan, nama saya Prima” jawabku. “Peu-ri-ma.” Dia mengeja namaku, walau agak sedikit aneh. Dan itu berarti, dia mengerti bahasaku. Horeee!! Akhirnya bisa juga aku bahasa korea, pasti akan kupamerkan ke teman-temanku. Huh, tunggu kedatanganku!
“Em, Peurima. Kau sama sekali tidak membawa barang bawaan?” tanya Hye-sung
Euforiaku terhenti. Ya, aku memang tidak membawa apa-apa. “Ya, bahkan sejujurnya aku pun tidak tahu kenapa aku bisa ada di sini.” Aku meraba kantong celanaku, kosong. “Dan aku pun tidak membawa uang sama sekali.” Kataku sambil mengangkat bahu.
“Cerita yang aneh.” Kata Hye-sung sambil sedikit tersenyum. “Baiklah. Kalau begitu…kurasa kau bisa ikut bersamaku untuk sementara.”
Mataku terbelalak. Diajak oleh seorang artis? Nggak mimpi nih? Batinku. “Oh, terima kasih. Terima kasih. Anda baik sekali.” Kataku sambil membungkukkan badan. Aneh, sejak kapan aku punya kebiasaan membungkukkan badan jika mengucapkan terima kasih?
“Ayo, ikuti saja aku. Pintu pesawatnya sudah dibuka.” Lagi-lagi perkataannya memecah euforiaku. Aku hanya mengangguk, lalu mengikuti langkahnya. Dalam perjalanan menuju pintu keluar pesawat, aku terus asja memegangi kedua pipiku, daguku, keningku, mataku, pokoknya segala anggota wajahku dengan kedua tanganku. Apa aku ini bermimpi ya? Tapi ini sungguh-sungguh nyata, bahkan tadi aku merasakan pesawat yang sedikit terguncang saat mau mendarat. Bau badan Hye-sung pun jelas-jelas tercium oleh hidungku. Ya ampun, mimpiin dia juga Cuma sekali, kok bisa ketemu gini ya? Batinku.
Saat kami berdua melepaskan kaki kami dari anak tangga terakhir, puluhan jepretan kamera langsung menyerbu kami, tepatnya Hye-sung.
“Hye-sung, apakah pembuatan albummu telah selesai? Sepertinya kau pulang lebih cepat dari yang dijadwalkan?”
“Kabarnya di Inggris sana kau sempat menjalin hubungan denga seorang gadis biasa di sana? Apakah itu benar?”
“Kenapa sekarang Anda sering terlihat sendiri. Apakah Shinhwa memang terancam bubar?”
Pertanyaan-pertanyaan dari watawan itu sedikit banyak memusingkan kepalaku. Seperti tahu keadaanku, Hye-sung berbalik ke arahku, lalu menggandeng tanganku cukup erat. Aku jelas kaget, mukaku bersemu merah.
“Jangan pedulikan mereka.” Katanya.
Tapi dengan kejadian itu, para wartawan malah semakin gencar menanyai kami.
“Hye-sung, apakah ini kekasih barumu? Tapi wajahnya seperti wajah wanita Asia Tenggara, bukan Britania seperti yang ramai dibicarakan orang?”
“Mohon beri penjelasan ke kami. Apakah wanita di sampingmu itu benar-benar kekasihmu?”
“Hye-sung, kami mohon penjelasan.”
Lalu tiba-tiba sekelompok orang berbadan kekar dengan tuksedo dan kacamata hitam menghampiri kami. Mereka melindungi kami dari gencaran para wartawan.
“Permisi. Mohon jangan ganggu kami.” Seru mereka berulang kali. Para wartawan itu menyingkir dengan wajah kecewa. Sementara itu, Hye-sung makin mengeratkan genggamannya bahkan menarik diriku lebih dekat dengannya. Badanku panas dingin. Ya ampuunnn….ampun dah!
Akhirnya para wartawan itu sudah tidak mengejar kami lagi. Aku menghela napas lega. Dan saat aku melihat pemandangan bandara di sekelilingku, woow! Aku benar-benar takjub. Bandara Incheon, Seoul, benar-benar indah, dengan dinding-dinding kaca yang futuristik menghilangkan semua lelahku. Di balik pintu, kulihat lima personil Shinhwa lainnya melambaikan tangan ke arah kami. Hye-sung pun membalas lambaian mereka, begitu juga aku. Nggak apa-apalah, sekali-kali melambaikan tangan ke artis, kan belum pernah, batinku nakal.
“Yuk, kita ke mereka.” Ajak Hye-sung. Aku mengangguk, lalu melangkah riang. Saat tanganku meraih gagang pintu keluar, tiba-tiba saja aku sudah berada di tengan kerumunan orang banyak di jalan raya. Kali ini aku kaget lagi. Orang-orang di sekitarku memandang ke arah kumpulan para cowok di depan mereka dengan takjub. Aku pun menoleh ke arah yang sama. Dan…ya ampun! Mataku terbelalak lagi. Super Junior! Ya, itu kan Super Junior! Mereka sedang mengadakan “Free Hug”, artinya siapa saja boleh memeluk mereka. Ya ampun? Aku melihat Choi Shi-won yang sedang tersenyum manis, Han Kyung yang begitu seksi, Dong-hae yang tampan. Tanpa sadar aku berlari ke arah mereka, tepatnya ke arah Han Kyung. Melihatku, dia membuka tangannya dan memelukku dengan manis.
“Aahh…Han Kyung! Aku senang banget bisa dipeluk sama kamu!” Teriakku padanya.
Dia hanya tersenyum manis, membuatku terlihat bodoh. Lalu Shi-won, Dong-hae, Lee Teuk, Ryeo-wook, Eun-hyuk, Shin-dong, Ye-sung, Kyu-hyun, Sung-min, Hee-Chul, Kang In, dan Ki-bum mengeliliku. Mereka semua tersenyum padaku.
“Seoul-e eoseo oseyo[1].” Kata mereka.
Aku berteriak kegirangan, “Gomawo[2].” Kataku. Aku terus memandangai mereka. Aduh, mereka begitu tampan, pikirku. Namu, tiba-tiba orang-orang yang tadinya diam berlarian ke arah kami. Aku terkejut, aku seperti tidak bisa menggerakkan tubuhku, terlalu banyak orang.
Tubuh-tubuh yang membawa ransel itu terus mendorong-dorong tubuhku. Tubuhku menjadi tidak seimbang, dan hampir terjatuh kalau saja seseorang tidak mengyangga tubuhku. Dia menarik tanganku dan dibawanya berlari.
“Hey, Peurima, ayo cepat!” kita hampir terlambat, nih!” kata seorang anak perempuan yang menarik tanganku tadi. Dia terus mengajakku berlari sambil terus memperhatikan jam di pergelangan tangannya.
“Aduh, pelan sedikit dong, Soo-jung!” aku menutup mulutku, heran sendiri. Darimana aku tahu namanya, batinku. Aku melihat pakaianku, dan aku kembali terkejut. Di mana celana jeans dan kaos t-shirt yang tadi kukenakan? Kenapa sekarang berganti menjadi seragam krem dan rok biru kota-kotak? Pikirku. Aneh, hari ini benar-benar banyak kejutan!
“Ah, udah deh.” Katanya lagi. Dia terus mengajakku berlari menyusuri lorong-lorong sekolah yang terasa begitu panjang. Di perempatan kedua, kami belok kiri. “Nah, akhirnya sampai juga.”
Kami masuk ke dalam kelas. Murid-muridnya banyak yang mengobrol, ada yang melamun, ada yang bermain hp, bahkan ada yang bermain pesawat terbang dari kertas! Rupanya tidak ada guru. Kami menarik napas lega.
“Huh, tu kan nggak ada guru. Kenapa coba tadi buru-buru segala?” gerutuku pada Soo-jung.
“Yah, mana ku tahu kalo nggak ada guru. Biasanya kan guru sudah menunggu di kelas. Tumben banget nih nggak ada guru kayak gini.” Balasnya.
Aku segera menuju bangkuku yang berada di bagian belakang kelas, menaruh tasku di atas meja, lalu duduk. Aku mengusap keringat yang membanjiri tubuhku. Ternyata di Korea kalau tidak ada guru ribut juga, batinku. Tak sengaja ekor mataku menangkap seorang lelaki yang duduk di bingkai jendela. Bingkai jendela itu berukuran agak panjang, jadi bisa diduduki. Matanya menatap kosong ke luar kelas. Aku menatapnya dengan seksama sambil mengucek-ucek mataku. Won-bin? Betul Won-bin nih? Bagaimana mungkin dia ada di sini?
Aku mengalihkan pandanganku ke Soo-jung, “Hey, ini SMA Seongji ya?” tanyaku.
Soo-jung menatapku heran, “Kamu ini bagaimana sih? Masak lupa sama sekolah sendiri. Ya iyalah, ini SMA Seongji, memangnya kamu pikir di mana?”
Aku hanya terdiam, seingatku sekolahku di SMA N 1 Metro, pikirku. Tapi ini….., ya sudahlah. Aku tambah pusing kalau memikirkannya. Aku mengarahkan lagi pandanganku ke arah Won-bin. Tanpa ku duga, mata kecilnya menatap ke arahku, lalu dia tersenyum manis, yang membuatku ingin pingsan.
Aduh, aku jadi salah tingkah dibuatnya. Bagaimana tidak? Ditatap oleh seorang artis yang ku idolakan? Aku sendiri pun bingung, apa aku ini bermimpi? Segala yang ada di hadapanku benar-benar terlihat nyata, tapi semua peristiwa yang terjadi seperti mustahil bagi seorang Prima, pikirku.
Won-bin pun turun dari bingkai jendela, lalu duduk di dekatku. Hatiku jadi dag-dig-dug dibuatnya. Dia memegang pergelangan tanganku dengan lembut dan menggeser sedikit lengan bajuku. Mukaku semakin memerah diperlakukan olehnya seperti itu.
Cukup lama Won-bin memandangi pergelangan tanganku sebelum akhirnya berkata dengan wajah sumringah, “Ternya kamu benar-benar cucunya Lee Dong-wook. Tanda yang kakek ucapkan benar-benar ada di pergelangan tanganmu.”
Aku melongo, lalu melihat pergelangan tanganku. Ada tanda berbentuk seperti tetesan darah berwarna hitam di sana. Aku heran, sejak kapan aku punya tanda seperti itu? Dan lagi, apa tadi, cucunyaLee Dong-wook?
“Apa katamu tadi? Aku cucunya Lee Dong-wook?”
“Ya. Tanda yang diceritakan kakek benar-benar mirip dengan yang ada di pergelangan tanganmu. Aku jadi teringat padamu saat kemarin kakek menceritakan itu padaku.”
“Apa? Lee Dong-wook kakekku?” aku masih saja heran, “Memangnya kapan dia menikah, kok aku belum tahu beritanya? Dia juga kan masih umur 27, masak sudah punya cucu? Sebesar aku lagi? Anak saja rasanya tak mungkin.”
“Itulah kelebihan kakek. Sejak istrinya meninggal, tiba-tiba saja dia memanggil semua cucunya yang mempunyai tanda seperti itu. Publik waktu itu sempat kaget dengan pengakuannya bahwa dia sudah mempunyai cucu. Aku pun dipanggilnya karena aku juga mempunyai tanda seperti itu.” Jawabnya lagi sambil memperlihatkan tanda yang sama persis di pergelangan tangannya.
“Aduh, kok aneh banget sih? Nggak masuk akal?” kataku. Tapi tiba-tiba aku menggelengkan kepalaku, “Aku tidak mau. Aku tidak rela menjadi cucu dari seorang Lee Dong-wook! Aku masih punya kakek di rumah. Aku tidak mau. Pokoknya tidak!” teriakku, air mata mulai menggenang di kedua pelupuk mataku. Aku sendiri kembali terheran, alasanku benar-benar tidak masuk akal, tapi kenapa aku bisa sampai menangis seperti ini? Apakah aku memang benar-benar membenci Lee Dong-wook, sehingga tidak mau menjadi cucunya?
Kulihat Won-bin menatapku sedih, “Dia sayang padamu. Kau adalah cucu terakhir yang benar-benar didambanya. Dia sangat…” kata-kata Won-bin tak sempat terselesaikan karena seorang guru memasuki kelas kami. Semua murid sibuk kembali ke tempat duduknya masing-masing. Won-bin pun kembali ke bangkunya yang berselang dua bangku dari kiri tempat dudukku. Rupanya jam pelajaran pertama sudah habis. Kami pun kembali mengikuti pelajaran. Selama itu, Won-bin terus menatapku dengna tatapan mengharap. Aku jadi tidak bisa berkosentrasi dengna pelajaran.
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku segera membereskan buku-bukuku, lalu segera keluar kelas. Baru beberapa meter keluar dari kelas, Won-bin kembali mencegatku. Dia memegang tanganku. Aku menatapnya. Kami sama-sama terdiam, lalu berjalan bersama. Kami menyusuri lorong-lorong sekolah yang panjang untuk bisa sampai ke halaman sekolah.
“Sebenarnya, apa alasanmu sehingga kau bersikeras tida mau menjadi cucu kakek? Tanda yang ada di tanganmu itu merupakan satu-satunya bukti bahwa kau adalah cucunya. Jangan takut, dia akan memberimu segalanya.” Perkataan Won-bin membelah sunyi di antara kami.
Aku melihat tanda yang ada di pergelangan tanganku. Mengutuknya. Gara-gara tanda ini, aku harus menjadi cucunya Lee Dong-wook, batinku sambil menggosok-gosok tanda tersebut.
“Aku, aku, hanya ingin hidup bebas seperti sekarang ini? Aku tidak pernah suka menjadi cucu seorang artis atau konglomerat. Kehidupan mereka akan selalu menjadi sorotan publik. Aku juga tidak pernah menyukainya, gara-gara temanku terlalu menyukainya.” Aku jadi teringat kehidupanku di Indonesia. Aku teringat Tina yang begitu menggilai Lee Dong-wook sehingga aku agak segan dengan artis tersebut. Aku teringat Ayah dan Ibu, juga Leni, adikku yang suaranya seolah-olah bisa merusak tatanan bintang di langit. Ayah, ibu, kenapa aku bisa berada di Seoul seperti ini? Aku memang bercita-cita ke sini tapi aku tak pernah mau menjadi cucu dari seorang aktor. Aku lebih menyukai kehidupanku yang seperti biasa, yang seperti kemarin. Tuhan, kenapa aku bisa di sini? Jerit batinku.
Di halaman sekolah, aku menangis di pinggir kolam yang airnya begitu jernih. Aku berkaca di atasnya. Won-bin masih menanti di sampingku.
“Peurimadoona. Itu kan nama panjangmu? Kau sekarang menajdi primadoona untuk kakekku, kakek kita. Ayolah Peurima. Kakek sudah beberapa hari in sakitnya kembali kambuh karena memikirkanmu. Ayolah.” Bujuknya lagi.
Sebuah limousine hitam mengkilap masuk ke halaman SMA Seongji. Empat orang bertuksedo perak keluar dari sana. Mataku menatap tak percaya ke arah mereka. Min-hwan, Jong-hun, Hong-gi, dan Jae-jin! Aku tak menyangka kelim apersonil FT Island itu (ditambah Won-bin) ada di hadapanku. Mau apa mereka ke sini? Aku menatap ke arah Won-bin, seakan bertanya padanya.
Won-bin seakan tahu apa pertanyaanku, “Mereka ke sini mau menjemput kita. Kakek sudah menunggu.”
“Mereka juga cucunya Lee Dong-wook?” tanyaku.
Won-bin hanya mengangguk. Aku jadi berubah pikiran, kelima personil FT Island yang aku idolakan itu cucunya Lee Dong-wook, kalau aku jadi cucunya juga, itu berarti aku akan sering bersama mereka. Aha..
Aku menatap Won-bin dengan sumringah. “Won-bin, aku mau menjadi cucunya Lee Dong-Wook.”
Won-bin menatapku tak percaya, “Kau serius?”
Aku hanya mengangguk, sambil tersenyum. Lalu pandanganku kualihkan kearah empat orang tadi, “Mereka jadi tukang antar jemput? Jadi bodyguard gitu?” tanyaku lagi.
Jong-hun yang mendengar perkataanku langsung menyela,”Kalau saja bukan karena permintaan kakek, mana mau kami seperti ini?”
“Iya. Mana aku belum terlalu bisa mengendarai limousine ini. Kalian tadi nggak spot jantung kan?” Hong-gi menimpali sambil melirik ke-3 rekannya. Ketiga-tiganya langsung menjitak kepala Hong-gi.
“Tadi itu kita hampir mau ditilang polisi gara-gara kamu mengendarainya sembarangan, tahu!” ujar Jae-jin.
“Iya, nanti Jong-hun sajalah yang menyetir. Tadi polisi itu sudah nguber-nguber kita, pasti juga dah kenal sama mobil kita. Limousine kita kan unik.” Sewot Min-hwan.
Aku dan Won-bin hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Won-bin memegang tanganku. “Ayo masuk.” Ajaknya. Aku pun tak bisa menolak lagi permintaannya. Mungkin aku harus menghapus kesan negatif terhadap Lee Dong-wook dari pikiranku karena sekarang impianku untuk bisa bersama dengan FT Island akan terwujud.
Kami semua akhirnya masuk ke dalam limousine. Jong-hun dan Hong-gi di depan, Min-hwan dan Jae-jin di belakang, sementara Won-bin dan aku di bagian belakang. Limousine melaju pelan menuju kediaman kakek Lee Dong-wook.
Akhirnya kami sampai juga. Saat aku keluar, aku melihat pemandangan yang menakjubkan (lagi). Jujur, baru kali ini aku memasuki rumah yang begitu megah dan besar, jauh dari rumah sederhanaku di Indonesia sana. Pohon-pohon besar menghiasi halamannya yang tertutupi rumput yang hijau lembut. Di tepi-tepi jalan setapaknya terdapat semak-semak yang dibentuk sedemikian rupa. Bahkan ada patung Harubang[3] yang terbuat dari es disitu!
Pintu besar berwarna krem sudah terbuka menyambut kedatangan kami. Mereka berlima menyuruhku masuk ke dalam. Walau sedikit ragu, aku pun masuk ke dalam, kosong. Namun tiba-tiba seorang berkursi roda datang dengan didorong oleh pengawalnya menghampiriku. Lee Dong-wook, dengan muka yang agak sedikit pucat. Dia tersenyum melihatku.
“Kau benar-benar mirip dengan istriku, Lee Da-hae.” Dia meraih tanganku dan melihat tanda itu di sana. Senyumnya makin mengembang. “Gara-gara semakin memikirkanmu, aku jadi menunda syuting serial Meteor Garden versi Korea.” Tangannya membuka, mengisyaratkan aku agar dipeluknya. Dan aku benar-benar memeluknya.
Min-hwan, Jong-hun, Hong-gi, Jae-jin, dan Won-bin terdiam melihat aku dan kakek. Won-bin menarik tanganku dan mengajakku ke tepi kolam. Dia menatapku lembut, lalu memegang kedua tanganku dengan erat. Kulihat wajahnya agak sedikit tegang, sepertinya dia akan mengatakan sesuatu padaku.
“Emm, Peurima, kuharap kau mengerti akan pe….” Perkataannya terhenti karena tiba-tiba seorang pelayan wanita memukul lonceng sebagai isyarat untuk makan. Bunyinya begitu keras sampai ke telingaku. Entah kenapa semua ingatanku dipaksa mundur. Saat aku ditatap oleh Won-bin, saat aku ditarik Soo-jung menuju kelas, lalu saat para personil Super Junior mengerumuniku, saat Han Kyung memelukku, saat Hye-sung dan aku berada di pesawat, saat aku merasakan bahwa keempukan kasurku lain dari yang biasanya….
Bunyi lonceng itu semakin lama menjadi seperti bunyi pintu yang dipukul dengan keras. Makin lama bunyi itu semakin gaduh saja. Aku semakin tak tahan.
“Aaah! Berisik amat sih!” teriakku. Mataku terbuka, aku kaget. Kini aku berada di atas tempat tidurku. Aku menepuk keningku. Yah, cuma mimpi. Kenapa sih ibu ini pake gedor-gedor pintu segala, padahal Won-bin dah mau nyatain perasaannya ke aku. Padahal sebentar lagi aku bisa terus bersama personil FT Island.
“Prima, sampai kapan kamu mau tidur, hah? Sudah jam tujuh!” suara khas ibuku membuat lamunanku terhenti.
“Prima, sudah jam tujuh. Cepat bangun!” teriak ibuku lagi.
Aku beranjak dari tempat tidur dengan kesal, lalu membuka pintu.
“Ibu ini, orang lagi mimpi indah-indah juga dibangunin. Kesel tahu!” kataku
“Yah terus kalau kamu mimpi terus kapan mau berangkat sekolah?”
“Ya emang ini jam berapa?”
“Kamu ini telinganya ditaruh di mana sih? Dari tadi ibu sudah berbusa-busa teriak jam tujuh, kamu nggak dengar?”
“Apa bu? Jam tujuh?” teriakku, tanpa menunggu jawaban, aku segera berlari ke arah kamar mandi, tapi lalu kembali ke kamar tidur untuk mengambil baju sekolah. Ya ampun, pikirku. Kenapa sih mimpi indah harus selalu ada resikonya, telat!
Tanpa sarapan dan tanpa pamit, aku segera berlari keluar rumah. Hye-sung, Super Junior, dan FT Island sudah tidak lagi mampir di benakku karena yang sekarang ada adalah, aku akan terlambat!



Metro, 3 April 2008
Saat bayangan-bayangan yang mampir di otakku terlalu banyak,
Dan saat polaris pun lelah menungguku menyelesaikan cerita ini.
[1] Selamat datang di Seoul
[2] Terima kasih banyak
[3] Sesuatu yang dianggap Tuhan oleh orang-orang di Pulau Cheju.

0 komentar: