rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Selasa, 22 April 2008

Cahaya untuk Ayah


Sore itu, Anni duduk termenung di teras rumahya. Matanya menatap puluhan anthurium dengan beragam ukuran yang ditanam dalam pot di depan rumahnya. Anni memegang sehelai daun anthurium tersebut. Anni menghela nafas, kenapa ayahnya tak henti-hentinya membeli anthurium. Apa sih yang membuat orang-orang begitu menyukai anthurium, bahkan ada yang rela menukarnya dengan mobil mewah.

”Dia sudah seperti pengganti ibumu, Ni.” kata ayahnya saat Anni menanyakan alasan kenapa ayahnya begitu menyukai anthurium.
Anni terdiam. Ibunya memang sudah tiada sejak 6 tahun yang lalu. ”Iya, tapi apa dulu ibu menyukai tanaman ini? Kenapa aya bisa bilang begitu? Kenapa juga ayah rela menukar tanaman-tanaman ini dengan uang tabungan yang sudah ayah kumpulkan bertahun-tahun?” bantahnya.
”Yah, begitulah kalau sudah cinta, Ni.” jawab ayahnya sambil melanjutkan pekerjaannya menanam bibit anthurium yang baru ke dalam pot. Suatu jawaban yang makin membuat kening Anni berkerut karena heran dan bingung.

Lalu mata Anni bergerak ke arah pintu gerbang yang setengah terbuka. Seorang pengemis cilik menatap ke arahnya. Agaknya ia ingin mengemis padanya, namun urung karena dirinya termangu terus sejak tadi. Rasa ibanya muncul, perasaannya memang mudah tersentuh jika melihat pengemis atau gelandangan. Anni berjalan ke arah pengemis itu. Bajunya sudah banyak yang berlubang di beberapa bagian. Mukanya dekil kecoklatan, pertanda bahwa ia sudah bekerja keras sejak pagi.
Anni merogoh kantongnya. Kosong. Ia ingat bahwa uang sakunya telah ia habiskan untuk ongkos angkotnya ke sekolah. ia menatap pengemis itu sekali lagi. Dia sedang memegangi perutnya, ingin menunjukkan bahwa ia lapar.
”Dek, mbak gak punya uang nih. Gimana kalo adek mbak kasih makan aja? Yah?” Pengemis itu mengangguk, tak bisa menolak karena memang perutnya sudah minta diisi sejak pagi tadi. Ia mengikuti saja langkah Anni yang mengajaknya masuk ke dalam rumah.
”Dek, adek duduk di sini dulu ya. Mbak mau ngambilin makanannya.” dan sekali lagi Anni hanya melihat anggukan dari pengemis kecil itu.
Anni bergegas menuju ruang makan dan membuka tudung saji di atas meja. Hanya ada piring kosong bekas tempat menaruh telur ceplok yang ia masak siang tadi. Lalu tangannya bergerak membuka pintu kulkas, ia mengeluh, hanya ada cabai, bawang, dan bumbu-bumbu lain.
”Aduh, masak apaan nih? Masak mau ngasih bumbu sama adek itu?” pikirnya bingung. Tak mungkin ia berkata kepada pengemis itu bahwan di rumahnya tidak ada makanan. Kalaupun bisa setidaknya ia memberikan sedikit uang, tapi sayangnya tak sepeser pun uang digenggamnya saat ini.
Anni berjalan menuju teras belakang. Ekor matanya menangkap beberapa Anthurium yang sengaja ditaruh ayahnya di situ. Tiba-tiba pikirannya terbuka. Ia ingat sebuah berita di koran kemarin bahwa ada seorang ibu yang menjadikan Anthurium sebagai lalapan, yang membuat suaminya langsung terserang stroke. Mungkin anthurium ini juga enak jika ditumis, pikirnya.
Anni mengambil pisau untuk memotong anthurium. Tapi kemudian ia berhenti, jangan-jangan ayahnya nanti akan terserang stroke juga, tapi nggak papa deh, ayah kan punya penyakit stroke. Lalu dengan cepat Anni memotong anthurium itu dan menumisnya. Anni mengambil nasi dan tumisan itu lalu dibawanya ke ruang tamu.
”Dek, maaf ya menunggu la....” kalimatnya tak sempat terselesaikat kala melihat wujud si pengemis sudah tak ada lagi di tempatnya. Ia lupa mengingatkan pengemis itu bahwa dirinya akan memasak dulu. Anni terduduk lemas, satu pahalan untuknya melayang hari ini. Tanpa sadar ia memakan makanan yang disiapkan untuk pengemis itu.
”Enak. Gak nyangka tanaman sekelas anthurium enak juga dibuat tumisan.” dan ia terus melahap makanan tersebut hingga piringnya licin tandas.
Dan malamnya, ia pun menghidangkan tumisan anthurium tersebut pada ayahnya.
”Gimana yah, enak gak?” tanya Anni sambil tersenyum.
”Enak kok. Sayur apa nih namanya?” ayahnya balik bertanya.
Senyum Anni langsung lenyap. Namanya? Tidak terpikir dalam otaknya jika ayahnya akan menanyakan hal tersebut. Tidak mungkin ia menyebut anthurium, bisa-bisa ayahnya langsung naik darah.
”Emm...dak tau yah. Tadi Anni asal ambil aja di warungnya Mbak Surti. Gak sempet nanya namanya.” jawab Anni asal.
”Oh.”
”Yah, boleh gak Anni minta tambahan uang saku. Anni sering kelaparan Yah, gak ada uang untuk beli makanan. Masak Cuma cukup buat bayar angkot pulang pergi?”
”Wah, gak bisa Ni. Rencananya nanti ayah mau beli bibit anthurium lagi. Kamu kan tahu kalo gaji ayah gak seberapa?”
”Yee, kalo gitu ngapa beli anthurium terus. Kemaren aja Anni minta uang untuk bayar komite gak dikasih, ngomongnya untuk beli anthurium. Untuk apaan sih Yah sebenernya? Yang kemaren aja belum keuurus.”
”Ini juga kan nanti untuk kamu. Kalo laku bisa dapet ratusan juta.”
Itu lagi, itu lagi. Anni benar-benar bosan bosan dengan ayahnya. ”Mana buktinya kalau Ayah mau menjual anthurium? Yang paling besar aja masih ayah simpen.” bantah Anni kesal.
”Sekarang harganya masih rendah. Nanti kalau sudah naik aja jualnya. Ya?” kata ayahnya mencoba memberi solusi.
Anni hanya mengangguk bosan, lalu bergegas pergi ke kamarnya. Tak ada gunanya bicara dengan ayah, batinnya.
Anni membanting tubuhnya di atas tempat tidur. Ia memejamkan mata, membayangkan wajah Ayahnya. Sejak ditinggal ibu Anni, wajah Ayah jadi semakin terlihat tua. Apalagi setelah memelihara anthurium, matanya terlihat sayu gara-gara sering begadang menunggu anthurium-anthuriumnya. Giginya pun semakin menguning lantaran di setiap begadang ayahnya bisa menghabiskan sebungkus rokok atau lebih. Gajinya lebih sering dipakai untuk membeli anthurium daripada ditabung untuk masa tuanya, uang sekolahnya pun sering terbengkalai gara-gara anthurium. Hhhh...ayahnya benar-benar sudah kecanduan anthurium. Benar-benar tak bisa meninggalkannya. Ia tak mau jika nanti ayahnya seperti Qarun yang begitu mencintai hartanya. Ia tak mau jika nanti ayahnya meninggal sambil memeluk anthuriumnya. Ia tak mau, tapi juga tak tahu bagaimana caranya untuk mengingatkan ayahnya. Dan Anni benar-benar tidur dalam segala kepusingannya tentang ayahnya.

Ayam jantan belum lagi berkokok, apalagi matahari, belum tampak dari tempat persemayamannya. Tapi pagi itu Anni bergegas bangun begitu mendengar teriakan ayahnya.
”Anthuriumku! Anthuriumku! Sopo iki sing wan jukuk anthuriumku?”
”Astaghfirullah. Kenapa Yah?”
”Anthurium, anthurium! Anthuriumku ilang siji!” teriak ayahnya seperti kesetanan.
Anni terdiam. Anthurium itu ada di dalam kamarnya, tapi dengan keadaan tanpa daun. Ia baru sadar jika ayahnya begitu menghitung anthurium kepunyaannya.
”Yah, sudahlah. Relakan saja. Kan masih banyak anthurium yang lain.” hibur Anni.
”Tapi yang hilang itu ukurannya besar Ni. Mana ayah rela? Ayah rugi ratusan juta!”
Anni kembali terdiam. Tanpa sadar ia telah membuat investasi ayahnya hilang. Tapi ia belum siap mengatakan yang sejujurnya pada ayahnya. Diam-diam ada sesal yang merasuk ke batin Anni.
Sementara itu ayahnya masih saja berkeliling di teras belakang sambil menghisap kreteknya. Tapi sejurus kemudian ia membuang rokor tersebut ke tanah lalu meremasnya dengan tanah. Lalu ia masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Anni masih juga belum beranjak dari tempatnya berdiri. Tapi kemudian ia ingat bahwa azan subuh sudah memanggil.

Matahari siang ini benar-benar terik bersinar. Anni mengipas-ngipaskan buku tulisnya ke arah muka. Panas yang begitu menyiksa. Ditambah si supir angkot yang terus menambah jumlah penumpang meski tempat duduk seluruhnya telah terisi penuh. Perutnya pun terus bernyanyi minta diisi. Anni mendesah, uang sakunya memang hanya cukup untuk transportasi. Apalagi sarapan tadi sudah tak bersisa lagi, jadilah ia harus memasak dulu untuk bisa memenuhi permintaan dari perutnya. Klakson-klakson yang memenuhi jalanan siang itu makin membuat Anna mengipaskan buku lebih kencang.
Sampai di rumah, Anni membuka kulkas. Telur, sayur kangkung, dan ikan mas tergeletak di situ. Anni kemudian menutup pintu kulkas. Bayangan kelezatan daun anthurium masih juga melekat di lidahnya. Lalu ia berjalan menuju teras belakang sambil mencari-cari anthurium yang berukuran agak kecil. Dia bukannya tak sadar kalau itu tanaman mahal, karenanya ia mencari yang agak kecil. Biar kalau ayahnya sadar anthuriumnya hilang lagi, tak terlalu banyak kerugian yang akan ditanggunggnya. Anni tertawa kecil, kerasukan apa dirinya ini, sampai tega memotong anthurium kesayangan ayahnya hanya untuk urusan perut. Dia sudah tahu kalau dirinya salah melakukan itu, tapi ia memang sudah kerasukan kelezatan anthurium. Tanpa ragu lagi ia segera mengambil pisau dan memotong daun anthurium yang dirasanya cukup kecil. Lalu memasak dan memakannya, juga tanpa ragu-ragu.
”Lo Ni, kok masak ini lagi, kan sudah ayah beliin ikan mas?” tanya ayahnya ketika ia menyodorkan menu yang sama seperti kemarin.
”Emm...Anni bener-bener suka Yah sama sayur ini. Jadi deh, tadi Anni beli ini di warung Mbak surti.” lagi-lagi Anni berkata bohong.
”Jadi udah tau namanya?” tanya Ayahnya lagi.
”Hah?” Anni bingung, ia belum memikirkan nama untuk sayur anthurium ini. ”Emm...namanya sayur kujang Yah. Katanya Mbak Surti gitu?” jawab Anni asal, ia katakan saja apa yang ada di pikirannya.
”Kujang? Kok namanya aneh gitu sih? Tapi besok-besok diabisin dulu apa yang ada di kulkas. Kan sayang kalo busuk.”
Dan Anni hanya mengangguk sambil nyengir.
”Tadi......gak ada orang mencurigakan yang masuk ke rumah kita dan ngambil anthurium kan?”
”Gak ada kok Yah. Lagian juga kalo Ayah pingin aman sewa aja satpam, kalo perlu kasih alarm pengaman aja tu pager.” cerocos Anni.
”Memangnya gaji Ayah berapa?” tanya Ayahnya.
Ah ayah ini, jika merasa tak mampu menjaga anthuriumnya kenapa harus membeli anthurium sebanyak itu. ”Makannya, jangan banyak-banyak dong anthuriumnya. Kan jaganya susah Yah. Kalo Ayah sadar gak bisa ngejaga anthuriumnya, ngapain harus beli sebanyak itu? Kan Cuma nambah susah Ayah.” Ayahnya hanya diam dinasihati begitu dan melanjutkan makannya. Anni bergegas ke belakang untuk mencuci piring kotor. Selalu ada jurang saat kami membicarakan anthurium, tak pernah ada kesepakatan, pikir Anni.

”Anthuriumku! Anthuriumku! Sopo meneh iki sing wani jukuk anthuriumku?” teriakan ayah Anni kembali menggema dini hari itu. Menggantikan suara kokok ayam jantan. Anni menggeliat sebentar di atas tempat tidurnya. Ia sudah tahu kalau ayahnya akan berteriak lagi pagi ini. Ayahnya memang tak terlalu menjaga anthurium yang ada di teras belakang, tapi jika ada yang hilang, pasti akan ada teriakan.
Tapi pagi ini, tak hanya Anni yang bergegas menuju ke teras belakang. Para tetangga pun berdatangan menuju rumah mereka. Heran karena ada teriakan seseorang di pagi buta begini. Melihat banyak tetangga yang menuju teras belakangnya, teriakan ayahnya semakin keras.
”Hayo, sopo iki sing jukuk anthuriumku? Sopo?”
Dituduh begitu, para tetangga langsung merasa tak enak hati. Lalu mereka yang memang tak bersalah itu bergegas perg karena tak mau disalahkan lagi.
”Hee....kok malah lungo? Sini kowe!” teriak ayahnya makin kesetanan. Anni bergegas menuju ke ayahnya.
”Sudahlah ayah. Mereka pergi karena ngerasa gak ngambil anthurium ayah.”
”Enak aja. Siapa yang bisa njamin?” bantah ayahnya.
Mulut Anni langsung terkatup, diam. Ia memang tidak punya bukti apa-apa, tapi ia tentu yakin bahwa para tetangga itu tak mengambil anthurium ayahnya. Karena ia sendirilah yang mengambil anthurium ayahnya untuk dibuat tumisan. Tapi kemudian ayahnya terdiam dan duduk di depan pintu. Wajahnya menampakkan rasa kehilangan yang sangat. Dua anthuriumnya hilang dua hari berturut-turut, dan dia tidak mampu berbuat apa-apa.
”Sudahlah Ayah. Ayah belum shalat subuh kan? Bentar lagi iqamat yah?” ujar Anni mengingatkan ayahnya.
Tapi ayahnya hanya melirik Anni sebentar lalu tetap terdiam. Anni yang merasa bersalah lalu pergi meninggalkan ayahnya. Sungguh dirinya ingin mengingatkan ayahnya bahwa anthurium-anthurium tersebut telah menjadi thagut bagi ayahnya. Sejak memiliki anthurium, ayahnya mulai sering mengundur waktu shalat, mengerjakannya pun lebih banyak di rumah, bukan di masjid yang menjadi keutamaan bagi laki-laki. Tapi begitu mengingat dirinyalah yang mengambil anthurium itu, ditambah dengan melihat wajah ayahnya yang begitu kusut, dirinya semakin tak berdaya. Mulutnya seakan tak bisa berkata apa-apa pada ayahnya.

Namun rupanya kelezatan anthurium masih saja merasuki Anni. Ia masih saja memangkas anthurium milik ayahnya untuk dibuat tumisan. Ia sadar bahwa ayahnya akan berteriak kesetanan pada pagi harinya. Tapi rasa anthurium itu begitu menggodanya, disamping ayahnya yang juga menyukai anthurium itu. Dan kamarnya pun semakin penuh dengan anthurium-anthurium gundul.
Puncaknya, saat kehilangan anthurium yanng ke-10, ayah Anni jatuh sakit. Dalam sakitnya, selalu mengigagu tentang anthuriumnya yang hilang. Juga gigauan tentang istrinya. Wajahnya pasrah, dan matanya selalu menerawang ke langit-langit kamar.
Anni tahu, akhirnya saat ini datang juga. Ia sadar bahwa inilah resikonya jika ia terus-teusan mengambil anthurim daun untuk ditumis. Tapi melihat wajah Ayahnya yang kini terlihat pasrah, Anni merasa bahwa ini saatnya ia jujur pada ayahnya tentang sayur ”kujang” tersebut dan menghentikan kebiasaannya memangkas daun anthurium.
”Yah.” kata Anni saat ayahnya selesai meminum obat yang diberikan dokter.
Ayahnya menoleh dan berkata, ”Ada apa, nak?”
Anni terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat agar ayahnya tak langsung terkejut mendengar apa yang dikatakannya. ”Yah, sebenarnya tumisan sayur kujang yang ayah suka itu diambil dari anthurium milik ayah.”
”Apa? Jadi selama ini kamu yang mengambil anthurium milik ayah, nak?”
Anni mengangguk. ”Waktu itu Anni nyoba untuk pengemis yang kelaperan. Dan jadinya keterusan sampe sekarang. Tapi Yah, disamping itu Anni juga pingin biar Ayah tidak terus-terusan mikirin anthurium. Anthurium itu udah jadi thagut buat ayah. Ayah bahkan rela ngelupain shalat gara-gara ngurusin anthurium itu. Anni gak pingin Ayah ntar jadi kayak Qarun.”
”Tapi justru dengan itu kamu buat Ayah semakin memikirkan anthurium itu. Semalam suntuk ayah mikirin tu anthurium. Apa kamu memang berniat menjadikan ayah sakit seperti ini gara-gara anthurium?”
”Anni sadar kalo ternyata cara Anni salah buat ngingetin Ayah salah. Tapi.......” Anni tak mampu lagi menyelesaikan kalimatnya. Tak disadarinya bulir-bulir bening menetes dari matanya.
”Sudahlah, ayah juga tahu ayah salah. Sampai melupakan Allah dan kamu hanya demi anthurium. Mungkin kalau ibumu masih hidup, ia juga akan menangis sepertimu. Maafkan ayah, nak?”
Tanpa berkata-kata lagi, Anni memeluk ayahnya. Air matanya mengalir semakin deras. Ia tahu ia sangat menyayangi ayahnya, dan bersyukur karena Allah telah mau menyadarkan ayahnya dan dirinya.
”Maafin Anni jgua yah. Anni udah buat ayah rugi ratusan juta.”
Dan ayahnya hanya mengangguk lalu berkata, ”Tapi anthurium memang benar-benar enak, kamu mau kan masakin lagi untuk Ayah?”
Anni menatap ayahnya heran, ”Ayah gak ngerasa rugi?” tanyanya
Dan hanya senyum yang menjawab pertanyaan Anni, yang membuat Anni tersenyum untuk kemudian mengangguk.

0 komentar: