rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Selasa, 22 April 2008

"Andai Cinta Tahu"

Senyum itu, sungguh manis dengan bibir manis dan indah. Juga dengan mata sipit yang nyaris tertelan senyum itu. Manis, dan menimbulkan sensasi lain……….
Dan cinta pun mengalir begitu saja, deras menghujani batin Arini. Untuk pertama kalinya Arini tak bisa melupakan bibir seseorang, begitu manis, begitu indah. Bibir seseorang yang mampu menjalin senyum terindah yang pernah Arini lihat. Dan karena bibir itu, untuk pertama kalinya Arini………..jatuh cinta.

Minggu pagi, 24 Desember 2006

“Apa? Rapat Rohis? Kok mendadak?” Tanya Arini langsung bercucuran saat Neti meneleponnya.
“Iya, untuk tahun depan. Program-program kita setengah tahun ini banyak yang kurang berhasil. Ntar kita evaluasi plus nyari trik biar adik kelas yang ikut program Rohis makin banyak. Ntar ada Mbak Ani yang bimbing kok. Gak keberatan kan?”
Arini terdiam. Ia tak keberatan, karena memang sudah resiko jika menjadi ketua Divisi Keakhwatan. Ia juga tahu, bahwa ini panggilan dakwah yang tak boleh diabaikan.
“Gak kok? Insya Allah aku datang. Jam berapa?” Tanya Arini lagi sambil melihat jam dinding, jam ½ 6.
“Ok. Jam 8 di masjid Ar-Rahman seperti biasa”
Dan klik. Telepon pun terputus..
Arini segera beranjak menuju kamar mandi. Tubuhnya masih lelah akibat mengetikkan makalah ayahnya. Hah……….tapi ia tahu dakwah sudah memanggilnya.
Pagi masih terasa saat Arini keluar rumah. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 7 lebih. Sengaja ia berangkat lebih cepat dari waktu yang ditentukan karena ingin menikmati pagi.
Arini berjalan lambat, sekali lagi hanya untuk menikmati pagi. Tak sengaja bola matanya bergerak ke sebuah rumah bertingkat di sisi kanan jalan. Ia berhenti. Apa si pemilik rumah belum mau nempatin rumahnya ya? Seingatnya sudah setahun semenjak rumah ini selesai dibangun, masih saja sepi. Apa si empunya tidak takut kalau nantinya jin akan menghuni rumahnya, pikir Arini, heran. Matanya menerawang ke arah jalan, namun masih belum beranjak.
“Pagi, mbak. Kok diem aja di depan rumah saya?” sebuah suara tiba-tiba menggetarkan gendang telinga Arini. Arini menoleh, sadar bahwa dirinya sedang mematung di depan rumah itu. Si pemilik suara tersenyum manis, semanis……..bibirnya! Arini pun tersipu dan berkata, “Oh, maaf. Saya hanya lewat, kok. Maaf kalau mengganggu.”
Dan pemilik suara itu kembali tersenyum manis, semanis bibirnya. Mata sipitnya seakan tenggelam. Arini pun tersipu malu, menggangguk, lalu beranjak pergi.
Seakan melayang Arini berjalan menuju tempat pemberhentian angkot. Dia……begitu manis. Apalagi bibirnya, manis dan indah. Juga mata sipitnya, mengingatkannya pada sosok Choi Min-hwan, artis Korea yang dulu sempat digandrunginya semasa SMP. Bibir Choi Min-hwan juga begitu manis. Mereka….sungguh mirip.
Saat berada di angkot pun, Arini seperti merasa berada di dalam pesawat. Tubuhnya terasa begitu ringan. Sampai pada saat rapat pun, tak ada yang bisa dilakukan Arini, kecuali….diam bertopang dagu. Rapat hari itu selesai memang, tapi tanpa satu pun masukan dar sang ketua Divisi Akhwat. Hal yang membuat heran para pengurus Rohis yang lain.

Lalu cerita ini mengalir………

Minggu malam, pada tanggal yang sama di dalam buku harian Arini

Ya rabb, untuk pertama kali ku tak bisa melupakan bibir seseorang. Ya, bibir! Bibir itu begitu manis, begitu indah, dan mampu merangkai satu senyuman terindah. Sungguh manis, dan indah.
Ya Rabb, bahkan suaranya pun tak bisa kulupakan. Begitu singkat, namun merdu. Terlalu manis.

“Dan ketika cinta itu datang
hidup ini mengalir….
begitu saja
sampai ia menemukan tempat muaranya………..
dan ketika cinta itu menyapa
hidup ini terasa ringan……….
terbang ke mana saja ia mau
sampai angin enggan menerbangkannya lagi………
dan cinta itu,
cinta itulah yang selalu mengisi bayangan dalam bola mata
memenuhi ruang hampa dalam telinga
dan juga….
mengisi relung hati”

Berikutnya, tak banyak perubahan dalam diri Arini, selain selalu mengingat-ingat bentuk bibir manis dan indah itu. Selain Arini yang setiap pagi berhenti sejenak di depan rumah bertingkat itu, sekedar menunggu sapaan dan senyuman yang tak dinyana tiap pagi selalu datang untuknya, dan sikapnya yang tak jua berubah menghadapi itu. Tersipu, lalu beranjak pergi. Kegiatannya di Rohis pun tak terlalu banyak terpengaruh. Karena ia tahu bahwa cinta ini harus dijaga. Rapat dalam relung hati.

Sabtu malam, 31 Desember 2006 di dalam buku harian Arini

Ya Rabb, ku tak tahu in sebenarnya rasa apa?
Kadang ku senang karena diliputi rasa ini,
Tapi, ku juga takut
Entah kenapa, mungkin ku takut ternoda
Ya Rabb, walau hanya sapaan dan senyuman di pagi hari, namun itulah yang membuatku didera rasa rindu. Walau setiap hari tersedia untuk ku. Dan maafkan aku karena hanya melihat dari fisiknya. Karena ku benar-benar menyukai bibirnya, dan juga jatuh cinta padanya.

Bulan-bulan pun berlalu, melewati pergantian tahun………..

Masih juga tak banyak yang berubah dari sosok Arini, selain dirinya yang sudah bisa membalas senyuman si pemilik bibir manis. Amanahnya di Rohis, sekali lagi masih tak terpengaruh oleh rasa itu yang begitu baik dijaganya. Shalat malam, tilawah, hafalan, liqa’ masih dijalankannya. Memang tak banyak yang berubah, selain waktu luang yang tak pernah absen terisi oleh wajah si pemilik bibir indah.

Dan lalu, waktu pun masih dan akan terus berlalu…..

“Dan………
hidup ini pun telah sampai pada muaranya
dan………
angin pun tak mau lagi menerbangkan hidup ke mana saja ia suka
karena cinta itu…….
harus segera disadari
karena cinta tak menginginkan,
hidup mengalir dan melayang begitu saja…”

Siang itu, untuk pertama kalinya Arini berhenti di depan rumah bertingkat itu. Dan ia tak perlu menunggu si pemilik bibir manis itu keluar dan menyapa untuknya. Dia sudah di luar seakan tahu kalau Arini siang itu akan berhenti di depan rumahnya, dan tetap memberikan senyuman terindah yang pernah Arini lihat, dengan mata sipit yang nyaris tenggelam.
Dan…….
Arini menunduk. Dalam. Lalu bulir-bulir bening menetes dari kedua kelopak matanya. Ia menangis, menangis untuk pertama kalinya kala menghadapi senyum itu. Ia menangis, karena menyadari suatu hal, yang telah ia pahami sejak dulu.
Arini memandang si pemilik senyum terindah sesaat, tersenyum, menunduk lalu beranjak.

Dan kini………
Perasaan si pemilik bibir manis bicara. Tentang keheranannya akan gadis yang biasanya membalas senyumnya, siang tadi menangis untuk alasan yang tak dimengerti.

“Wahai gadis,
sungguh, senyum ini hanya untukmu
sapaan ini,
yang setiap pagi kuberikan padamu
juga hanya untukmu
dan cinta mulai memenuhi relung hati
seiring waktu……..
tapi, cinta ini akan tetap terjaga
karena aku tahu cinta itu putih bersih”
Dan sang pemilik senyum itu tahu, bahwa ia akan tetap memberi senyum dan sapaan pada gadis itu, yang melewati rumahnya setiap pagi. Dan ia hanya akan memberikan itu, tak lebih. Karena ia hanya ingin cintanya terjaga. Rapat dalam relung hati.

“Bahwa cinta memang bisa membuat segalanya berputar
180 derajat
dan apakah cinta memang tak pernah tahu
bahwa ia bisa membuat tembaga menjadi emas
bahwa ia bisa mengubah segala yang buruk menjadi indah
dan apakah jika ia tahu?
ia akan menangis?
dan takkah ia melihat,
bahwa banyak yang terjebak karenanya
bahwa banyak yang menangis, juga tertawa karenanya
ah,………..
andai cinta tahu……..”

Dan Arini pun menangis malam itu, dalam shalat lail yang dilakoninya. Menangis karena ia telah mulai melupakan cinta sejatinya. Menangis karena ibadah yang dijalaninya kini seakan tanpa ruh. Menangis karena kini ia mulai malas menggapai cinta-Nya. Menangis karena ia begitu mencintai si pemilik bibir indah itu. Menangis karena takut cintanya nanti berada pada tempat yang salah.
Arini terus berharap dalam sujud panjangnya, agar Sang Pemilik Cinta tidak marah padanya. Agar dia masih mau memberikan cinta untuknya. Dan agar cintanya pada si pemilik senyum terindah tetap terjaga, murni.
Dan arini pun terus menangis hingga fajar menyapanya lembut, memberi satu tekad.
Pagi itu datang lagi. Masih dengan mentari yang mulai beranjak tinggi. Masih dengan embun yang mulai mengering. Arini pun menikmati pagi itu, seperti biasa. Namun, sebuah tekad pagi ini mampir di benaknya bahwa ia tak akan berhenti di depan rumah sang pemilik bibir manis, juga tak akan menunggu sapaan dan senyuman untuknya.
Sampai di tempat pemberhentian angkot, Arini tertegun. Si pemilik bibir indah itu telah ada di sana. Dan ia, ketika melihat arini, masih tetap tersenyum dengan mata sipit yang nyaris tertelan oleh senyumannya. Lalu ia memandang ke arah jalan raya yang masih sepi tanpa menunggu Arini membalas senyumannya, tanpa sapaan. Dan Arini, hanya bisa tersenyum dalam hati, lalu berdiri agak jauh dari si pemilik senyum terindah untuk menunggu angkot.

“Ya, dan cinta ini akan ku jaga
tapi, takkan ku menangis jika ia hilang terkikis masa
karna ku tahu,
ku masih punya cinta yang takkan meninggalkanku
yang kan selalu ku kejar dan ku harap
karna sekali lagi,
cinta tak ingin
hidup mengalir dan melayang begitu saja,
tanpa ada arah yang menemani”


ditulis saat menunggu detik-detik
menuju umur 15
Sudah pernah dimuat di blogQ yang satu lagi:
aboutansdromeda.multiply.com (dah gak aktip)

0 komentar: