Saya ingin menulis.
Tapi saya bingung, apatah lagi yang bisa saya tulis?
Di sini, di laptop ini.
Bahkan di kertas kemarin—eh tadi—saja saya tidak sanggup.
Lalu saya harus apa ini?
Raga jiwa saya memerintahkan saya untuk menulis, apapun itu.
Apapun itu?
Ah tidak, saya—entah mengapa—tak ingin menulis apapun itu.
Mesti dipilih, a, b, c, dan lain-lain.
Sejenak saya berpikir memang, jadi penulis itu lelah.
Tapi iya kah? Saya sendiri jadi ragu jadinya.
Bagaimana mau jadi kalau ragu membayang begini terus.
Yah, begitulah saya, mau bagaimana lagi?
Tapi manusia itu musti berubah, iya tho?
Iya saya tahu, perubahan itu TIDAK GAMPANG!
Mesti mempersiapkan A, B, C (dari tadi abjad melulu)
Mesti punya modal.
Tapi kira-kira saya punya modal apa ya?
Saya sendiri bingung, orang saya saja masih punya utang.
Sama si A, si B, si C, ya itulah.
Saya sendiri bingung.
Loh, kalau saya bingung, darimana saya ini menulis?
Ya itulah yang sungguh saya bingung.
Bingung mau diapakan tangan itu.
Kadang mesti berpikir.
Lah iya, kalau tidak berpikir memang apa? Bukan manusia?
Saya kan 100% manusia, jadi mesti berpikir, merenung—bukan melamun—apa yang terjadi di hidup ini.
Tapi kenapa saya lemah sekali.
Pantas setan itu suka sekali dengan saya,
Loh saya saja begini.
Saya mesti siapkan sesuatu ini, biar setan tidak suka dengan saya.
Tapi apa ya?
Di usbu’ ruhi hingga hari ini, saya mesti beristighfar 100x sehari.
Astaghfirullah hal ‘adzim
Astaghfirullah hal ‘adzim
Astaghfirullah hal ‘adzim
Astaghfirullah hal ‘adzim
Dan itu susah ternyata,
ngantuk lebih suka panggil saya.
Padahal saya kan tidak suka dipanggil begitu.
Tapi ya itu tadi, apatah boleh buat.
Saya jadi ingat kadang,
Betapa saya sering narsis.
Narsis? Ya, sebagai seorang yang ingin menulis, saya sering narsis dengan karya sendiri.
Gawat memang, tapi ya bagaimana?
Saya kadang heran saja, bagaimana mungkin saya bisa menulis itu.
Tapi itu yang saya tulis.
Kadang saya berpikir, waktu itu saya dapat wangsit apa sehingga bisa menulis itu?
Tapi saya nggak dapet wangsit apa-apa.
Bahkan kadang untuk bahan tulisan saya Tanya orang yang lebih tahu,
Entah itu bapaklah, ibulah, adiklah—kakak saya tidak punya—temanlah, buleklah.
Saya kadang sering bosan sendiri.
Saya nggak ada kegiatan soalnya.
Saya mau menulis, yah kadang kertas itu tidak menarik perhatian saya.
Benar-benar tidak.
Jadi saya malas menulis.
Bagaimana mungkin saya akan bergelut dengan seseorang yang tidak bisa membiarkan keinginan saya berkarya muncul?
Seseorang? Yah, sesungguhnya sesuatu, hanya kadang memang manusia, sering menganggap sesuatu itu seseorang. Seseorang dianggap sesuatu. Miris.
Ya itulah kehidupan.
Kadang merasa bahwa akan hidup selamanya di dunia.
Tapi mengingat mati, alam kubur, akhirat, tahu bahwa memang harus siapkan bekal untuk pergi nanti.
Kadang sih berpikir juga, nanti perginya saya itu kayak mana ya?
Apa diingat orang, atau malah diacuhkan?
Apa tragis, atau mengharukan?
Apa tersenyum, diam, atau menangis?
Semua itu pertanyaan yang pasti tak akan bisa saya jawab sekarang.
Ketika membayangkan semua itu.
Hhh...
Memang hidup ini.
Apa mesti hidup sebagai hewan, tak terlalu terbebani?
Ah, picik sekali saya, tidak bersyukur, sudah diberi kesempatan menempati makhluk paling sempurna, kok lari.
Ya, memang tak bisa lari. Kita kudu jalani apa yang mesti kita jalani.
Beribadah, berbuat baik, berbuat sesuatu untuk dikenang.
Kudu membersihkan diri setiap saat, biar nanti baik dihadapan-Nya.
Tapi kok kadang saya ini merasa bagaimana gitu ya?
Mengingat kenakalan-kenakalan saya.
Ah, saya dulu sampai sekarang suka sekali buat hal-hal yang sia-sia.
Kadang kok saya terbuka sekali.
Sampai saya bingung.
Tapi untung saya masih diberi kesempatan, setidaknya sampai sekarang, saya masih hidup dan masih disuruh hidup.
Masih disuruh berbuat ini itu, ya kalau saya sudah tak disuruh, alangkah malangnya hidup saya.
Mungkin saya sudah mati, entah bisa disebut mati suri atau mati beneran.
Tapi saya masih hidup.
Masih.
Ya.
Saya senang tapi juga deg-degan.
Ah, hidup ini apa sih yang tidak deg-degan?
Setiap orang setiap detik jantungnya berdetak.
Tapi kadang kalau berdetaknya itu loh, melebihi kadar.
Kadang bingung.
Sudah diwas-wasi setan.
Berpikir kalo bakal dapet baiklah, buruklah.
Padahal juga mungkin tak ada apa-apa.
Istighfar.
Istighfar.
Memang hidup ini kudu banyak berdzikir.
Apalagi kalo melihat sekeliling kita.
Kadang kita bergidik, tersenyum, tertawa, menangis.
Apa ya, karena hidup ini itu ekspresi.
Ekspresi lahir karena hidup terus berjalan, lalu manusia memberi nama.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, (2:31)
Jadi berpikir bahwa kita ini begitu hebat tercipta.
Apalagi sesuatu yang bernama hati dan otak.
Terlalu musykil rasanya untuk menciptakan hati seperti hati kita.
Hati yang begitu mudah tersentuh ketika melihat sesuatu yang mengharukan.
Hati yang mengontrol kantung air mata kita untuk menangis.
Hah, tapi kadang manusia suka mengotori hati, tapi lupa membersihkannya.
Otak lagi, apa sih yang bisa menandingi kehebatan otak.
Mata kita nggak ada blur-blurnya kalo mau melihat, nggak seperti kamera, masih ada blurnya kadang.
Langsung kita bisa mengerti, padahal prosesnya rumit banget.
Nggak akan mampu kita selesaikan semua nama yang ada di dunia seumur kita.
Terlalu banyak, setiap hari tambah terus.
Ya, seharusnya seiring dengan keimanan kita,
Ya,
Apalah ini yang saya tulis,
Saya mah tulis-tulis saja.
Ngalor ngidul, nggak jelas juga tujuannya kemana
Saya harap sieh, meskipun tujuannya banyak, senggak-enggaknya ada tujuan.
Kasian amat saya kalau tulisan ini bener2 nggak ada tujuan, seakan hidup saya juga nggak punya tujuan,
Nggak, nggak , saya nggak mau.
Saya jalan terus sajalah.
Mau gimana
Ya begitu.
Memang harus berjalan.
Bukan semata takdir.
Ketika hati otak mengomando berjalan.
Kenapa enggak?
Kita kan manusia, iya kan?
2009-12-26
Wanna More.?