rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Kamis, 03 Juli 2014

Rendang, Mastin, dan Kacamata Pragmatik

http://rendangdenlapeh.com/wp-content/uploads/2013/12/Jual-Rendang-Online-Dalam-Kemasan-Dengan-Harga-Murah-Rasa-Enak.jpg

Suatu hari, saat Ummi saya bertandang ke Jogja, ia bertutur secara perlokusi.

Ummi : Nduk, itu tolong makanan yang ada di kotak makan itu dibuang aja, udah ga enak soalnya.
*Ummi saya membawa makanan yang ditaruh di kotak makanan, dan sudah basi di tengah perjalanan
 
Saya: Iya Mi, nanti ya.

Sekilas itu percakapan biasa, percakapan antara seorang Ibu dengan anak, di mana sang Ibu menyuruh anaknya untuk melakukan sesuatu. Ibu mengatakan A--dengan fungsi direktif (suruhan) termasuk di dalamnya--, si anak memahami kemudian berkata "Ya", sebagai langkah awal untuk melakukan apa yang disuruh si Ibu.

Ada yang salah? Saya pikir juga tidak sampai beberapa hari setelahnya.

Ummi: Nduk, itu kemarin ada rendang di kotak makan yang kemarin, bisa buat makan teman sekontrakan.
Saya: Rendang yang di mana mi?
Ummi: Yang di kotak makan makanan basi itu, itu ada rendangnya masih enak? Kamu buang semua?
Saya: Lah iya, kan Ummi nyuruh semua makanannya dibuang abis udah gak enak.
Ummi: Kok gak dilihat-lihat dulu? Itu bikinan Mbah lo buat kamu

Sampai di sini saya baru merasakan ada titik poin yang kurang. Jika ditinjau dari sisi pragmatik, apa yang saya lakukan sesuai dengan yang diperintahkan kepada saya. Saya hanya disuruh untuk membuang makanan basi yang ada di kotak makan, bukan untuk melihat apakah masih ada makanan yang masih enak untuk kemudian dipisahkan dengan makanan basi. Apatah lagi untuk menemukan rendang yang ternyata bikinan nenek saya--yang dikemudian hari saya sesalkan kenapa saya tidak teliti.

Namun dari sudut pandang penutur (speaker), ada maksud lain di balik perkataan perlokusinya. Yang Ummi saya maksud bukan hanya untuk membuang makanan yang ada di kotak makanan, namun juga untuk memilah jikalau ada makanan (baca: rendang) yang masih enak dimakan. Ada maksud dibalik maksud. Apa yang dimaksud bukan hanya yang terpapar secara eksplisit, tapi juga implisit. Maka dari itu mungkin cinta sulit dipahami, karena ia sering disampaikan secara implisit #abaikan #spoiler.

Sedangkan saya dari sudut pandang penerima (hearer) merasa tidak ada yang salah dari apa yang saya lakukan karena saya melakukan sesuai yang diperintahkan. Namun, di sinilah manusia ternyata harus mengulik makna dari apa yang orang lain sampaikan.

Peristiwa seperti ini jelas sering kita temui bukan? Kita berbicara A, tapi orang lain menanggapi B. Sebelum saya mendalami pragmatik--meski belum terlalu paham sampai sekarang--saya merasa kesalahpahaman yang sering kita alami di kehidupan sehari-hari ya memang karena itu adalah hal yang wajar terjadi, mengalir begitu saja di dalam perkataan manusia. Dan saya baru merasakan, setiap proses komunikasi yang kita alami, dengan kesalahpahaman-kesalahpahaman-nya, adalah fenomena pragmatik yang terjadi.

Well, saya tidak ingin memberi kuliah di sini, tapi #FYI Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis dan ditafsirkan oleh pendengar atau pembaca (George Yule dalam Pragmatics, 1996 halaman 3). Pragmatik boleh dikatakan satu bidang dengan semantik (kajian tentang makna), namun jika semantik hanya berkutat pada struktur dan tata bahasa, maka pragmatik lebih mengedepankan konteks, situasi yang mempengaruhi tuturan. 

Kita, dalam hidup berbahasa dan berkomunikasi, ternyata mesti memahami apa yang sebenarnya orang maksud dengan tuturan ataupun tulisannya. Seringkali kita menyalahi maksim relevansi dalam komunikasi kita. Kita bicara A, namun orang lain malah mengalihkan pembicaraan menjadi B. Akibatnya, proses transfer makna itu menjadi tidak sempurna. Hal ini jika tidak diperhatikan, tentu akan berakibat fatal, misalnya jika seorang guru menyampaikan sesuatu namun ditanggapi salah oleh muridnya. Pemilihan kata, intonasi, kejelasan lafal, bahkan juga gerak-gerik tubuh harus diperhatikan agar orang lain mengerti apa yang kita lakukan.

Namun, apakah hal yang baku tersebut, semisal kerelevansian yang telah saya sebutkan di atas, mesti dipatuhi setiap saat? Tentu tidak. Bayangkan saja jika dunia ini hanya berisi orang-orang yang berbicara dalam bahasa baku, jelas, dan tak memiliki unsur ketaksaan (ambiguitas). Bosan? Iya.


http://forum.winpoin.com/attachment.php?aid=3390

Sering liat meme di atas? Fenomena iklan Mastin--obat herbal sari kulit manggis--yang baru-baru ini menjadi sangat populer karena 'keunikan'nya membuat orang saat ini membicarakannya di berbagai media sosial. Meme di atas menggunakan kalimat sakti iklan Mastin "Kabar Gembira" dan "Kulit Manggis kini ada ekstraknya" dan potongan gambar Prabowo Subianto dan Joko Widodo, dua kandidat calon presiden kita mendatang.

Ada ketidakrelevansian di sini. Saat Jokowi menanyakan "Pak Bowo, aku punya kabar gembira!", kita sebagai pembaca tentu saja mengira mungkin kabar gembira yang dimaksud berkisar tentang urusan kenegaraan, mengingat kedua tokoh ini adalah calon presiden Indonesia 2014-2019. Pemaknaan terkadang tidak bisa dipahami hanya secara literal namun juga penting untuk mengetahui siapa yang bertindak di sana sehingga kita bisa merinci makna apa yang ingin mereka sampaikan. 

Dan orang tentu saja tergelak ketika akhirnya Jokowi mengeluarkan punch line-nya "Kulit MANGGIS kini ada ekstraknya". Ada ketidakrelevansian di sini. Mengingat latar belakang kedua tokoh, kabar gembira yang diharapkan tentu bukan hanya berkisar tentang "Kulit Manggis". Dan lagi, fakta bahwa kulit manggis memiliki ekstrak yang berkhasiat untuk kesehatan dan kecantikan bukan lagi hal baru sehingga bisa menggembirakan. Namun, maksim relevansi ini yang kemudian dilanggar--tentu saja oleh pembuat meme--dan justru menimbulkan gelak tawa. 

Ya, aturan-aturan ideal berbahasa yang terdapat dalam buku-buku teori linguistik selama ini tentu saja tidak harus dipatuhi selamanya. Toh, kita tahu bahwa tidak ada hal yang ideal atau sempurna kan? :D Penyimpangan-penyimpangan aturan berbahasa seringkali kita langgar bukan untuk mendistorsi makna yang ingin kita sampaikan, tapi karena ingin membuat orang lain tertawa mendengar apa yang kita sampaikan. Ketidaknyambungan terkadang berarti untuk menyambung ketegangan yang terjadi antara penutur dan pendengar. 

Akhirnya, tulisan ini bukan untuk menghakimi secara teori fenomena pragmatik yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Selamat mematuhi kaidah-kaidah berbahasa jika Anda ingin pendengar Anda tidak salah paham dengan yang Anda katakan, dan selamat melanggar kaidah-kaidah berbahasa untuk memecah ketegangan yang terjadi saat kita berinteraksi dengan orang lain. Dan Selamat bersabar untuk tidak nyinyir dan gampang mengejek jika ada satu fenomena menarik yang ada di sekitar kita, karena masyarakat Indonesia rupanya makin pintar 'nyinyir'.

Tabik.

Dalam rengkuhan skripsi.
2014-07-03

1 komentar:

Unknown mengatakan...

I wanna give my opinion...





Goooooooddddd..... hehehhee