rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Selasa, 03 Desember 2013

...Menguping

http://m.eet.com/media/1161222/hearing_difficulties.jpg

"Hidup kutipan hidup kupingan... Sudahlah."

Sejak kapan? Entah. Tapi memang sejak saya punya kebiasaan dudu (bukan nongkrong) di warung kopi, tiba-tiba kebiasaan '...menguping' saya muncul. Jelas ini bukan disengaja. Saya duduk sendirian sembari menghirup aroma kopi dan orang di depan atau di samping saya ngobrol ngalur ngidul, bagaimana saya bisa menutup telinga saya? Eh, jujur saya sudah mencoba untuk tidak '...menguping' dengan mendengarkan lagu lewat earphone, tapi ya toh tetap saja.

Hidup kita itu '...menguping' ya? Kita lalu lalang di muka bumi ini setiap waktu dan berlintasan dengan banyak orang di setiap waktu itu juga. Kita melihat, dan kita mendengar apa yang orang lain lihat dan orang lain bicarakan. Tidak meniatkan, tapi toh akhirnya 'ter'lihat atau 'ter'dengar. Dan hidup kita berjalan tanpa privasi penuh, yang mungkin melatarbelakangi era dunia digital tanpa privasi saat ini.

Ya, saya '...menguping'. '...menguping' apa?


Pernah, pernah saya '...menguping' perbincangan beberapa orang laki-laki dan satu perempuan tentang seks. Awalnya sih mereka tak berniat bercerita tentang itu. Telinga saya mulai tergerak ketika mereka membicarakan orang-orang golongan saya--jilbab rok lebar naik motor tanpa liat speedometer. Lalu perbincangan beralih menjadi masalah seks. Salah satu quote yang masih saya ingat adalah, 'Jadi ada anggapan, kalau seks itu sebenarnya cara kita mendekatkan diri kepada Tuhan.' Kira-kira seperti itu redaksinya. Terhenyak? Tidak juga sih. Di novel "The Da Vinci Code" sudah pernah dijabarkan berbagai macam ritual sekte-sekte yang menghalalkan seks sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan. 

Apa iya ya? Mungkin. Karena dalam Islam pun, menikah disebut sebagai setengah dien, setengah agama meskipun menikah bukan diniatkan untuk hal 'itu' saja. Menikah adalah pijakan awal di mana ibadah-ibadah maghdhah maupun ghairu maghdhah baru bisa terlaksanakan kalau sudah menikah. 

Dan ia berkata lagi, 'Karena seks dianggap sebagai perantara manusia menuju tuhannya, maka wajar kalau sebenarnya berhubungan badan itu sakral, dapat dilakukan ketika sudah menikah...' Lalu perbincangan beralih menjadi hal-hal terkait pernikahan.

Saya tak mengiyakan, tak juga menegasikan. Dalam hati saya cuma berkata, apakah ia berkata atas dasar pengalaman atau baru sekadar hipotesis? Wallahu a'lam.

Pernah juga saya menguping segerombolan laki-laki dan seorang perempuan--lagi lagi--berbincang tentang novel. Masing-masing dari mereka membawa satu novel, dan setiap orang mempresentasikan analasis mereka terhadap novel yang mereka punya. Yang saya tahu--dan sempat saya kuping--salah seorang dari mereka mendiskusikan novel Leo Tolstoi, Anna Karenina, buku yang selalu masuk list saya tapi belum pernah saya baca. Oke, saya tak dengar analisis mereka, karena--sekali lagi--saya hanya '...menguping'. Obrolan mereka adalah hal yang biasa di fakultas saya, bahkan sering menjadi bahan untuk skripsi. Tapi tetap saja telinga saya tergerak meski tak awas mereka berbicara apa. Yah, salah sedikitnya mereka juga membicarakan tentang enkranisasi (pembuatan film menjadi novel, dan sebaliknya). Sayang, dari sekelumit yang saya dengar tampaknya mereka tidak menganalisis karya-karya sastra tersebut dengan teori-teori sastra yang ada. Wajar sih, mungkin background mereka bukan berasal dari sastra.

Lalu apa lagi ya? Barusan sih saya '...menguping' lagi perbincangan segerombolan lelaki--tanpa perempuan--yang saya tak tahu tentang apa. Saya menutup telinga saya dengan earphone dan lagu, dan hanya sekelumit yang saya dengar.

Tepatnya, "Gua mah ngerjain skripsi H-1 sebelum sidang. The Power of Kepepet bro." kira-kira begitulah redaksinya. Hosh, dan itu yang membuat telinga saya bergerak. Gila nih orang, segimana-gimananya saya yang sering mengerjakan makalah uas dalam waktu H-3 atau H-4 jam sebelum waktu kumpul, tak pernah saya kepikiran untuk mengerjakan skripsi H-1! Jadi apa nanti skripsi saya?

Oke, saya mengakui kekuatan dari kepepet ini, tapi saya tak mau analisis saya asal-asalan untuk skripsi, karya tulis ilmiah yang mungkin menjadi titik tolak pemikiran saya ke depannya.

Dan ya, '...menguping' yang sempat saya arsipkan hanya itu. Sudah jelas saya terlalu sering '...menguping' dan lupa untuk mendokumentasikannya. Pertanyaannya, untuk apa memang?

Dan lagi, saya mendapat satu inti dari '...menguping' ini.

"Kita tidak '...menguping' ketika tidak ada satu hal yang menggerakkan minat telinga kita. Kenapa kita bergosip hanyalah karena telinga kita tertarik minatnya pada suatu hal, bukan pada semua hal. Maka, kita pun masih punya privasi disebabkan tidak semua hal dari orang lain menarik minat kita. Hanya sebagian kecil, yang mampu menggerakkan telinga kita."

Tabik.

0 komentar: