Tak layak sebenarnya jika ingin disebut pengejar matari. Tapi, izinkanlah saya bercerita sedikit tentang matari yang terus menerus coba saya--dan beberapa teman--kejar.
Ini tentang matari yang ternyata tak perlu saya kejar. Ini tentang matari yang mendatangi saya setiap hari, kecuali jika cuaca mendung.
Matari terbit di belakang pondokan KKN-PPM UGM KTM-03, Samboja, Kalimantan Timur |
Foto di atas adalah foto matari terbit yang menyambut saya di pagi hari, di hari-hari pertama saya menginjakkan kaki ke tanah Borneo. Kaget, Ya! Karena selama ini untuk mencari matari terbit atau tenggelam, saya harus mendaki gunung, atau sekedar mencari tempat yang tinggi.
Tapi, alam ternyata tidak seangkuh itu. Ia sesungguhnya hadir di tengah-tengah kita, manusia. Ia menyapa kita setiap hari, namun memang seringkali kitalah yang terlalu sibuk dengan rutinitas kota ataupun kelegangan desa.
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Luqman: 18)
Bahkan di ujung kepenatan kita menghabiskan hari, matari pun masih mau menyapa dengan pendar saganya. Menyelingi rerumputan yang tumbuh tinggi di depan rumahmu, juga melampaui bangunan-bangunan tinggi yang kau bangun.
Matari tenggelam di depan pondokan KKN-PPM UGM KTM-03, Samboja, Kalimantan Timur |
Pada akhirnya saya hanya tertohok. Di tengah keangkuhan ingin menaklukkan alam--terutama gunung--dan menaklukkan matari, ternyata keangkuhan saya dirobohkan oleh matari yang menyapa dengan gamblang di tengah kehidupan saya. Jauh di dalam tanah Borneo yang baru kali ini saya jejaki, dan saya sudah terlanjur cinta dengan matarinya.
Esok, ketika saya sudah akan melangkah jauh di atas bumi-Nya, saya berharap saya bisa memaknai bahwa alam bukan untuk ditaklukkan.
Tabik.
2014-07-20
Kecilnya saya di atas luasnya Borneo.
0 komentar:
Posting Komentar