rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Selasa, 04 Juni 2013

Ketika Separuh-Mitos pun ber-Trustworthy...

Alkisah seorang Bhisma, telah berjanji menjadi brahmacari, yaitu seseorang yang tak akan menikah seumur hidupnya. Ketika mengucapkan janji tersebut, Bhisma merengkuhnya dalam-dalam dan bersumpah tak akan mengingkarinya. Benar, ia memang benar-benar memegang teguh janjinya, meskipun Dewi Amba yang mencintainya datang kepadanya. Bhisma memang punya tanggung jawab untuk menikahi Dewi Amba, namun ia memilih untuk setia menjadi brahmacari. Karena ia sadar bahwa jika sumpah tersebut ia langgar, akan berakibat buruk pada negara dan keturunannya. Ia memegang teguh janji yang ia sematkan pada dirinya, melampaui jarak-jarak waktu yang ia putuskan untuk ia lewati, hingga titisan Dewi Amba yaitu Srikandi, melepaskan anak panah yang berarti menyelesaikan janjinya.

Cerita Bhisma Mahawira yang terangkum dalam epos Bharathayudha mungkin bukan merupakan cerita yang asing lagi. Bhisma terkenal sebagai seseorang yang memegang teguh janji dan amanah yang ia sematkan pada dirinya dan tahu betul apa akibatnya bila ia melalaikan amanah tersebut. Ada kesadaran di sini, yaitu kesadaran akan beratnya amanah. Suatu hal yang mungkin asing dan sulit ditemui pada zaman sekarang. Amanah di manapun kapanpun akan selalu menjadi hal yang berat, tapi manusia kini menganggapnya semakin enteng.


Setiap dari kita tentu saja harus memegang amanah, meski kadang tanpa kita sadari. Amanah-amanah itu berseliweran di depan kita, sehingga kita seringkali lupa. Paling tidak, ada tiga hal yang dunia amanahi kepada kita:
  1.     .   Harta

Setiap orang di dunia ini diamani harta untuk dikelola, bahkan mereka yang terkesan jarang menggenggam uang di tangannya. Allah telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk di dunia, maka setiap makhluk—terutama manusia—diembani amanah untuk mengelola harta. Besar kecilnya harta yang kita pegang bukan perkara besar kecilnya amanah tersebut. Namun terkadang besarnya jumlah uang yang ada di genggaman kita membuat kita lupa, bahwa mungkin ada hak orang lain pada uang yang kita genggam.

Uang yang sedikit membuat kita harus pandai-pandai bersyukur dan tidak merutuk Tuhan, uang yang banyak menuntut kita untuk terus pada ritme kesederhanaan. Kenapa kesederhanaan? Ketika kita diberi rezeki berlebih dan merasa bisa membeli sesuatu yang “lebih” dari biasanya, di situlah tangan kita mulai terlatih untuk menggunakan “lebih dan lebih”. Membeli yang “lebih” tentu tak salah, tapi membeli “lebih dan lebih” tentu saja salah. Kesederhanaan, qana’ah, yang harus terus ditempa untuk menyadari bahwa jumlah harta yang kita genggam merupakan amanah.
  1. 2.       Kehormatan

Kita hidup dalam kelas-kelas yang “diadakan”. Kelas sosial tinggi, menengah, rendah. Kelas-kelas ini mengakibatkan sadar-tak-sadar kita sering memandang rendah mereka yang berada di strata sosial bawah. Kita sering meremehkan perbuatan yang mereka lakukan. 

Sebagai contoh, kita sering menganggap bahwa orang yang bersedekah 1 milyar lebih “terhormat” daripada mereka yang bersedekah seratus ribu. Padahal mungkin orang yang bersedekah 100 ribu itu menyisihkan uangnya dari pendapatannya yang hanya dua ratus ribu per bulan. Sesungguhnya ada pengorbanan lebih di sini, tapi karena jumlah yang lebih kecil, kita sering abai. Abai akan kehormatan orang tersebut.

Amanah juga berarti menjaga kehormatan orang lain. Tak melirik sebelah mata, apalagi melecehkan perbuatan yang telah mereka perbuat.
  1. 3.       Jiwa

Amanah berupa jiwa adalah amanah yang mungkin sering kita lupa. Pengelolaan negeri yang salah bukan hanya berakibat secara fisik—jatuhnya negeri tersebut—tapi juga mengakibatkan jiwa-jiwa yang ada di negeri tersebut hancur. Jiwa memang abstrak, tak kasat mata, karena itu sering kita lupa bahwa merusak jiwa akan lebih menghancurkan daripada sekedar menghancurkan secara fisik.

Sama seperti cerita Bhisma yang disuguhkan di awal tulisan, Bhisma sadar bahwa amanah yang tak ia jaga akan mengakibatkan kehancuran pada keturunan dan negaranya. Bhisma sadar bahwa amanah yang tak terjaga bukan hanya mengakibatkan kehancuran fisik, tapi juga jiwa manusia. Ia berkorban demi menjaga jiwa keturunannya tetap pada trah tinggi Mahabharatha.

Yang bisa diambil dari cuplikan cerita Bhisma ini adalah pentingnya menjaga jiwa. Amanah-amanah yang kita terima memiliki kaitan dengan jiwa-jiwa manusia. Amanah organisasi, bukan hanya sekedar menjalankan organisasi tersebut, tapi menjaga dan menumbuhkembangkan mereka yang membersamai kita agar tetap bisa melanjutkan perjuangan ketika amanah tersebut sudah selesai. Setitik nila yang kita lakukan mungkin bisa mengakibatkan keburukan pada seluruh jiwa yang terkait. Pentingnya bersikap hati-hati, karena ternyata amanah bukan sekedar kata yang diucapkan.

Harta, kehormatan, dan jiwa. Sebagai manusia Indonesia yang lahir di Indonesia kita disuguhi ketiga amanah ini secara utuh. Amanah menjaga kekayaan Indonesia dan tak jatuh ke tangan yang salah. Amanah menjaga kehormatan manusia Indonesia di mana pun mereka berada. Dan amanah menjaga jiwa-jiwa manusia Indonesia, bukan hanya manusia saat ini tapi manusia Indonesia yang telah lalu dan yang akan datang.

Sama seperti Bhisma yang memegang teguh tiga dharma satriya. Dharma pada sumpahnya, dharma pada negaranya, dan dharma pada kebajikan. Jika ketiga dharma ini membawa Bhisma menjadi dewa pada trah Mahabharatha, maka ketiga amanah di atas akan mengangkat level kita bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Tabik.
2013-06-04

0 komentar: