Sabtu, 31 Desember 2011
Pilrek, Demokrasi, Harmoni Masa Lalu Kini dan Nanti
31 Desember 2011
usia merenungi masa melompat menuju tahap-tahap kehidupan yang membenda
usia merenungi waktu pergi ke tempat di mana 'masa membenda' kembali terlihat
usia merenungi periode mengurai kenangan-kenangan yang terus tersumbat gempita
usia, ada terus untuk dijalani
bukan menjalani...
Saya hanya kemudian mengingat ayah saya.
Dari satu tapak menuju ke tapak lainnya hingga kita terus berputar. Telah lelah saya menghitung dan sia-sia perhitungan itu. Kadang jiwanya merasuk begitu saja tanpa saya sadari. Saya telah terbentuk, karena dia tahu tugasnya adalah membentuk.
Dari satu pemberhentian menuju ke pemberhentian lainnya hingga kita sadar kita terus berjalan. Mungkin terlihat stagnan di sini ketika saya dan dia jauh. Tapi ternyata hati terus mengontrol, hati terus berdetak mengingatkan kata-kata yang telah tertanam. Tidak, dia tidak di sana, tapi juga di sini membersamai waktu saya.
Dari satu kata menuju kata lainnya hingga kita sadar kita adalah verbal. Tapi sayang itu bukan terletak pada kata saja. Sayang itu terkadang terlalu malu diungkapkan pada objek utama, tapi dia sumringah diajukan pada objek-objek pendamping. Merasai bukan di hadapan kita dia membanggakan, tapi di hadapan orang lain yang mungkin harus tahu. Merasai di hadapan kita saja dia mengkritisi, bukan untuk diumbar di depan orang yang mungkin tidak tahu pun tak apa.
Dari satu nasihat menuju nasihat lainnya hingga kita sadar kita tak dilepaskan sendiri. “Do’a itu selalu didengar dan dikabulkan di dunia ini. Hanya terkadang kita tak sadar Allah telah mengabulkan do’a kita.” Membuat saya percaya bahwa sayang-Nya tak pernah ditunda-tunda, hanya Dia mengarahkan dan membuat kita sadar sesuatu yang berbeda dari keinginan adalah lebih baik.
Saya hanya kemudian mengingat Ibu saya.
Dari satu lipatan menuju lipatan lainnya hingga kita sadar kita telah berkarya. Bahkan dia mengajarkan bukan lewat kata, tapi lewat hati. Lipatan-lipatan risoles yang mungkin dia buat dan dia ajarkan, terselip cinta yang kemudian melipat-lipat. Rumit tapi tetap ada. Bukan dengan kata Ibu menyayangi, tapi dengan pelukan.
Dari satu genggaman menuju genggaman lainnya hingga kita sadar kita telah bersama. Bukan ikatan nyata yang menyatukan. Bukan kebersamaan raga yang menyatukan. Tapi jarak yang menimbulkan rindu. Tapi rindu kemudian yang menostalgiakan kembali kerlingan-kerlingan indah. Rindu membesar bersama waktu walau terkadang tak terungkap ketika kedua mata beradu.
Dari satu diaman menuju diaman lainnya hingga kita sadar bukan kemarahan yang ada. Hanya teguran kecil, mengingatkan bahwa kita tidak berjalan sendiri. Hanya teguran kecil, mengingatkan bahwa di dunia ini ada orang lain yang harus kita dengar.
“Perempuan membutuhkan bahasa mereka sendiri. Laki-laki selalu mencari dan membangun rumah bagi mereka sendiri: gua, pondok, perempuan, kota, teori, konsep, bahasa. Demikian pula perempuan memburuhkan rumah bahasa (House of Languange); mereka membutuhkan rumah tinggal yang tidak memenjarakan mereka, sebagai ganti penjara yang tidak tampak yang menempatkan mereka sebagai tawanan; tempat tinggal yang memungkinkan mereka tumbuh kembang adalah prasyarat mereka untuk menjadi.” (Irigaray)
Dari satu masa menuju masa lainnya, ya saya memang bertambah tua.
Bahkan beberapa menit lagi yang menjadi penanda terus menghantui saya akan kepingan-kepingan masa lalu yang harus saya satukan kembali, menjadi sesuatu yang membenda dan bisa saya lihat kembali dengan baik. Bahkan beberapa menit lagi di atas tradisi-tradisi lama yang telah membelenggu dan membeku hingga resah saja yang ada.
Saya teringat semua, adik-adik saya di rumah yang mereka bukan menyayangi lewat benda. Mereka membanggai bukan saat raga ini mendampingi, tapi saat raga menjauh hingga rindu semakin membuncah. Mungkin sapaan setiap hari itu ungkapan sayang mereka, saya saja yang kadang teramat angkuh menganggap itu gangguan.
Saya teringat mereka yang belum dengan baik saya ayomi, Said, Fathi, Luk-Luk, Shofiyya, Syifa. Kadang saya saja yang tidak sadar apa yang saya lakukan mungkin yang akan mereka lakukan ke depan. Berada di garda terdepan mungkin memang menjadi tapak langkah. Baik berujung baik buruk berujung buruk. Hanya lupa, dan abai selama ini.
Saya teringat teman-teman saya, yang selama ini ada baik selalu maupun tidak selalu. Teman yang terkadang saya sendiri mengacuhkan. Miris, padahal mereka selalu ada untuk saya. Hanya satu pembelaan yang bisa saya beri, saya manusia abai. Mungkin kita sekarang masih merangkai jalan kita masing-masing, belum bisa memaknai arti waktu itu sendiri. Saya berharap nanti, nanti ketika masa bertemu waktu, kita saling membuka mata kita ditakdirkan dulu hingga sekarang untuk memaknai.
Saya teringat guru-guru saya, yang dari saya kanak hingga saya sekarang terus membersamai. Guru yang menyatukan shen-shen murid-muridnya. Yang merangkai monomer-monomer menjadi polimer, terseling pada considenta oppositorum yang kerap terjadi. Guru yang terus bersabar ketika muridnya terus berprokreasi seperti Chaos dan Gaia, atau membuat suasana seperti saat Demeter meninggalkan Olympus untuk Persephone. Guru yang begitu tulus berbagi lugos dan cheng yang mereka miliki.
Dan yang lain, yang tak bisa saya sebutkan di sini. Dari tetangga yang ikut mengasuh saya hingga pekerja yang mungkin merelakan waktunya untuk merakit netbook yang saya gunakan untuk membuat tulisan ini.
Tak ada kata lagi karena kata adalah penanda dan pertanda, yang semakin dimaknai kita tahun bahwa makna itu menuju makna yang lain.
Tak ada kata lagi karena kata hanyalah tonggak awal dan harus diwujudkan lewat perbuatan.
Semakin saya menyadari saat ini, semakin saya memaknai waktu kadang menjadi cemooh. Saya tahu saya ditunggu dan menunggu. Maka semoga tidak lagi cemooh itu ada.
하숙집에서
2011년12월31일
생일이었는데...
Wanna More.?Sabtu, 03 Desember 2011
Strukturalisme dan Pragmatisme Kepemimpinan
Menurut Jalaluddin Rakhmat, seseorang menjadi manusia besar—pemimpin—ketika dia memiliki kemampuan intelektual untuk memahami realitas dan kemampuan bertindak yang tepat. Dia bukanlah seseorang yang hanya berkutat pada teori filsafat yang berupa konsep dan gagasan besar. Tapi ia harus bisa menangkap realitas. Ia harus mengerti apa yang terjadi pada zamannya (Rakhmat: 1999: 174).
Jika Anda pernah melihat film Red Cliff, tokoh-tokoh yang ada dalam film tersebut menempati posisinya masing-masing. Zhu-ge Liang sebagai pengatur strategi, Zhao Yu sebagai jenderal perang, Liu Bei sebagai seorang pemimpin yang membawahi para pemimpin, maupun dari pihak lawan Cao-Cao sebagai jenderal perang, dan anak buahnya yang berada di pos masing-masing, apakah angkatan laut maupun angkatan darat. Setiap dari mereka memiliki sudut pandang tersendiri dalam menghadapi realita yang ada di zamannya. Sudut pandang yang berbeda ini akhirnya menghasilkan gagasan dan kontribusi yang sesuai. Gagasan-gagasan ini jika tidak berkumpul pada satu tempat yang tepat, maka hanya akan menghasilkan konflik. Tetap diperlukan seseorang yang benar-benar mengampu seluruh ide dan gagasan anak buahnya. Seorang pemimpin yang baik harus tahu bagaimana menempatkan dan mengarahkan gagasan yang dimiliki olehnya dan oleh anak buahnya.
Senin, 28 November 2011
Lelah ... (dan puisi lainnya)
Lelah
Letih
Lunglai
Lemas
Lemah
Gila
Aku
Iya kah?
Ah,
Capek
Ribuan setan
Tertawa
Aku,
Malunya…
Amboi,
Apa itu obat?
Danau toba?
Abot?
Aku letih pada
Tangan-tangan yang telah
Memijiti sarafku kembali
Pada alur sang otak
Otakku sakit
Mual
Muntah lewat mata
Terbelalak lewat mulut
Parah
Butuh apa lalu?
Aku mau lelah saja
Pada malam kemarin
Aku bermimpi tentang mimpi
Aku tak lelah
Tak letih
Lalu perlu diapakan?
Gila?
Benarkah?
Apa itu gila
Lagi??
Sudah lagi mimpi berserimpi
Tari yang sudah mati
Pada tangan-tangan ringkih
Menuai saji
Pada pohon merunai
Ah, kata pohon
Aku hidup dan makan hanya sendiri
Kau yang butuh aku
Butuh aku?
Berarti aku butuh kau?
Lalu kau bisa beri apa?
Aku mau aku tak tertawa
Aku mau serius
Aku mau diam saja
Aku mau bergerak
Atau aku lebih baik di rumah
Jika masa membayang pada saat yang tak seharusnya
Lalu cinta menguap pada buah yang tak semestinya tergigit
Akankah lelah berteman letih bergandeng lunglai berwisata
Ke suatu tempat
Kau berada………
2009-01-27
DOB..POQ
bodobodobodobodobodobodobodobodobodobodobodo…
poqopoqopoqopoqopoqopoqopoqopoqopoqopoqopoqo…
bercermin pada umur yang tak sejati…
hah..
bau
tuak…!
reka’at kedua
rekaat kedua..
Allahu Akbar..!
Bungkuk..
90 derajat
Khusyu’
Syu’…
Syu’…
Susuk..
Ah,
Apa salah aku pasang susuk
Bau busuk
Bersama lubuk
Guk…guk…
Kutuk
Dikutuk
Berkalung handuk
Uhuk..
Uhuk...
Pada reka’at kedua
Uhuk..
Aku menghela..
ALLAHU AKBAR..
SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH…
16 Senar
Il
Tring..
Tring..
Pada senar pertama
Kupersembahkan mahligai kebusukan
Li
Tralala
Saat kata
Berkata pada kata
Sutra..
Sam
Sam..
Sam..
Kau siapa??
Sa
Sah…usahlah bodoh
Trang!
Pecah
O
O…kau matahari
Aku maka aku
Aku
Mau bintang
Sederajat
Yuk
Yuk..
Berdayu-dayu
Di alam yang layu
Kayu
Busuk
Chil
Tril..
Tril..
Gubrak!
Hancur..
Ph’al
Delapan..
Benarkah delapan
Terurai dalam dekapan?
Aku?
Geu
Geu,,neng geulis
Sayang aku padamu
Kalau kau mencium aku
Maka aku adalah seonggok daging
Ship
Ship!
Tak ada lagi masalah
Ship!
Kapalnya telah berlabuh pada angin
Ship Il
Trek..trek..
Mendeyek..
Krek..krek..
Reyot..
Bolot..
Kolot..
A lot..
Memangnya daging?
Ship Li
Trr…
Trr…
Trr…
(Berdering)
Hanguk sarami “Yoboseyo”rul malheyo…
Ship Sam
Trank!
Trank!
Cahaya dari segala datang
Rupanya kiamat berlubang
Dia sayang
Jadi dia beritahu kapan
Ship Sa
Di akhir kata
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ship O
O…setelah melahirkan beribu-ribu kata dari jemari
Rahimmu tak lagi kuat
Menyangga air liurku
Ship Yuk
Banyak Tabik
Semoga kata tak berhenti di sini
Mayat
Bermayat-mayatan dalam kamar mayat berbau mayat ditemani menemani mayat yang bergelimpangan bagai mayat di taman mayat Wanna More.?
Senin, 12 September 2011
Sejenak Lelah Tak Bolehkah??
VAIN.
TENTANG TEPAT WAKTU
Ini yang sering saya permasalahkan. Tak bisa dipungkiri-yang jujur saya kesali-kita terlalu sering meremehkan waktu. Indonesia terkenal dengan jam karetnya, saya tidak berdalih. Kenapa kita akhirnya meremehkan waktu? Mungkin karena kita sudah begitu terbiasa akan "telat pun gak papa", imej kita akan waktu adalah "yang lain juga pasti telat". Ya sudah, tidak ada lagi yang tergerak tepat waktu. Sering kita sebagai subjek dipersalahkan. Kita tidak bisa memprioritaskan-lah, tidak bisa efektifitas waktu-lah, tidak bisa mengatur waktu-lah, dsb. hanya kemudian pertanyaannya, memang waktu-yang kita tetapkan itu-sudah tepatkah?Seringkali kita sendiri yang tidak rasional terhadap waktu. Boleh dibilang kita terlalu idealis. Inginnya kumpul jam 6, padahal kemampuan rata-rata kita kumpul jam 7. Hasilnya? ya jam 7 baru pada kumpul. Sia-sia lagi kan?Kenapa kita tidak mencoba 'sedikit' rasional? Okelah, idealis itu boleh tapi jangan sampai kita lupa kita punya realitas kita sendiri-sendiri.\
SOLUSI
Jika memang semua bisa kumpul jam 7 ya jam 7 saja, tidak usah memaksakan kumpul jam 6. Kita belum kemampuan 'kumpul jam 6'. Namun jika akhirnya kita sudah terbiasa untuk menepati waktu-walau dengan resiko harus ekstra memaksimalkan waktu yang lebih sedikit. Tapi pada akhirnya kita bisa menghargai waktu itu sendiri. Baru ketika 'level' kita sudah bertambah, baru kita bisa me-lebihawal-kan jadwal kegiatan kita.
Itu baru tentang waktu, saya sadar bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan yang saya temui dalam 'kelompok' saya. Misal ketika saya melihat 'kelompok' lain bisa melaksanakan acara tepat waktu, saya jujur hanya ingin menangis. Kenapa saya tidak bisa melakukan itu di dalam lingkungan saya? Kenapa jika saya terlibat dalam suatu acara, acara itu kebanyakan selalu molor? Kenapa? Kenapa spirit waktu itu tidak ada?Dan kemarin boleh dibilang adalah akumulasi-akumulasi 'hasil penglihatan saya atas kekurangan-kekurangan', hingga akhirnya saya memilih untuk sedikit kabur. Ya, saya akui saya benar-benar lelah, saya bahkan menangis ketika mendengar suara adik-adik saya, suara ayah saya, suara ibu saya. Rasanya saya ingin kembali ke kampung halaman, tertawa bersama mereka, bukan di sini di mana saya terus memendam kecewa. Saya merasakan beban itu terlalu berat dibebankan kepada saya, padahal ada teman-teman lain menunggu amanah itu, untuk meningkatkan kapasitas diri mereka.
Dan yang saya kecewakan lagi adalah, saya belum menemukan orang yang bisa saya percayai untuk berbagi kekecewaan ini. Saya skeptis, apakah mereka bisa menerima kekecewaan saya, atau jika bisa membantu saya. Okelah mungkin saya pada akhirnya mengungkapkan kekecewaan ini, tapi tidak dengan rasa yang sama ketika saya benar-benar merasa kecewa, ketika saya benar-benar menangis menghadapi kekecewaan ini. Pada akhirnya yang saya ungkapkan adalah kekecewaan yang sudah berlalu, sudah berubah karena waktu. Tapi untuk ini saya tidak menyalahkan siapa-siapa, karena saya mengerti ini adalah kelemahan saya yang kurang bisa berbagi 'rasa' terhadap orang lain.Namun apakah kemudian saya lelah? Mata kedua orangtua saya selalu menghentak mengingatkan bahwa lelah itu sesaat saja, untuk kemudian bangkit lagi. Mereka telah lebih lama daripada saya, maka atas dasar apa saya mengindikasikan bahwa saya sudah lelah. Saya memang lelah, tapi bukan 'sudah' lelah. Saya terus mencoba untuk mengakumulasikan kekuatan saya lagi di jalan ini, tapi-kebanyakan-ketika kekuatan saya sudah ada, orang-orang di sekitar saya mengacuhkan saya. Ketika saya sedang merasa lelah, saya 'dipersalahkan'. Jadi apa yang salah dengan saya? Apa saya begitu labil menghadapi lika-liku jalan ini? Apa saya sudah mencapai titik 'bosan' untuk terus berada di sini-menilik stagnansi yang terus ada-? Kenapa dengan saya? Kenapa saya begini?Dan, yang hanya bisa saya ketahui sekarang bahwa saya harus terus belajar, bahwa saya harus terus 'legowo', bahwa saya harus terus memahami apa yang saya lakukan.
Yang saya tahu bahwa kelak saya akan memahami filosofi dari apa yang saya lakukan sekarang. Karena saya tahu bahwa sudah ada begitu banyak orang yang bertahan, maka saya pun harus bisa bertahan dan melakukan perbaikan.
2011년09월12일
오후 5:11
상아지고 싶으면
'소피의 새상'을 다시 읽고 싶으면
눈을 감고 싶으면...
북극성으로 가고 싶으면..
당신은 꼭 그곳에 있어야 한다...
@Musholla Al-Adab" Wanna More.?