Kita hidup memang sebagai musafir, yang mendamparkan diri dari tempat ke tempat.
Tak heran sesungguhnya ketika saya terdampar (baca: tersesat). Saya bukanlah orang yang pandai menghafal jalan sekali lewat, butuh berkali-kali. Tapi terkadang itu tak masalah ketika saya terdampar di pusat kota dengan hiruk pikuk orang-orang dan perangkat kota.
Tapi baru kali ini saya terdampar di tempat yang sepi, di mana tak ada orang untuk tempat bertanya, setelah supir taksi itu menanyakan saya apakah benar tempatnya di sini.
Sekeliling saya salju, sebuah tempat yang dikelilingi pagar tinggi, dan beberapa rumah sepi. Walau suara klakson mobil terus berbunyi kendati ada sebuah jembatan layang tinggi di atas tempat tersebut.
Oke, ini saya di mana? Saya yang terbiasa dengan keramaian Seoul harus menyerah dengan keheningan salah satu sudut kota Daejeon. Saya telepon teman saya, saya katakan bahwa saya tersesat, tapi dia menyarankan untuk menunggu taksi lain lewat. Di tempat yang entah kenapa seperti ujung dunia itu--oke, jangan ingatkan saya akan cerita Mr. Quin, Agatha Christie--saya saja pesimis akan menemukan seseorang.
Tapi inilah enaknya hidup di negeri teknologi. Dengan kualitas sinyal mumpuni, walau di tempat yang entah di mana, saya akhirnya bisa merasakan manfaat yang cukup berarti dari smart phone yang saya beli. GPS menyala, dan saya kembali terkejut...
Kenapa saya bisa terdampar sejauh ini?!! 1 km mendekati 2km sepertinya. Sepertinya supir taksi tidak mendengar nomor rumah alamat yang saya minta, sehingga dia mengantarkan sampai ke ujung desa -_-...
Namun dengan suasana sekitar yang putih merata ditutupi salju, ditambah gemericik air yang sesekali, saya tahu bahwa tak ada salahnya saya tersesat. Walaupun terkadang saya harus mengeluh karena jalan bersalju yang membuat sepatu saya basah dan kedinginan, saya tahu hahwa saya harus bersyukur karena bisa menikmati salju yang setiap tahun hanya bisa saya lihat di film-film natal di televisi. Setelah melihat salju, saya sering merutukinya sebenarnya. Licin, dingin, membuat saya harus memakai baju tebal dan berat, pernah membuat saya terpeleset. Tapi memang manusia tak akan pernah bisa melawan alam. Merasa bisa, tapi tak akan pernah sanggup menghias alam hingga seindah ini.
Jauh, bawaan berat di tangan, dingin, lolongan anjing, mobil-mobil yang sese kali lewat dan pengemudinya memandang aneh kepada saya, atau tatapan heran orang yang sesekali melintas. Saya bisa saja meminta orang yang lewat di situ untuk mengantarkan saya ke tempat tujuan, tapi entah kenapa saya tidak mau. Biarlah, saya sedang ingin sendiri--tidak--berdua dengan alam.
Tabik.
2013-01-02
1 komentar:
Posting Komentar