Tak peduli apa status sosial dan di mana kau berada, Al-Qur'an akan selalu membuka dirinya untuk kau baca.
Sering memang saya mendengar lantunan Al-Qur'an di musholla FIB--kampus saya--ataupun masjid-masjid lainnya. Tapi, baru kali ini saya mendengar ada lantunan Al-Qur'an di bonbin--kebon bintang, kantin FIB--tempat orang biasanya hanya melepas lapar dan penat setelah seharian beraktifitas di kampus. Lafaz Al-Qur'an yang diucapkan oleh seorang mas penjual minuman itu tidak lancar memang, terbata-bata, tapi sanggup membuat hati saya meleleh.
Source: google.com |
Di tempat bernama kantin, tempat biasanya orang hanya memikirkan perut dan uang, pemandangan seperti ini sangat langka. Terlebih lagi hal itu tidak dilakukan oleh mahasiswa yang notabene adalah intelektualis perlente. Saya pun tidak pernah terpikir untuk menyempatkan diri membaca Al-Qur'an saat saya berada di kantin. Kantin adalah tempat makan dan mengobrol, cukup. Padahal, sembari menunggu makanan diantarkan ke meja kita, terdapat waktu yang cukup untuk menghabiskan selembar-dua lembar Al-Qur'an.
Hal lain yang membuat saya takjub adalah bukan dengan mushaf cetak ia membaca, tapi dengan smartphone tergenggam di tangan. Tinggal mengunduh aplikasi Al-Qur'an maka kita bisa menikmati Al-Qur'an di smartphone kita. Bukan hanya menikmati layanan chatting, facebook, twitter ataupun games, teknologi bahkan telah memudahkan kita untuk membaca Al-Qur'an di mana pun kita berada. Kalau mau jujur, mana sih yang lebih sering kita pegang, Al-Qur'an atau handphone?
Saya tak menampik kuatnya kultural agama (bukan berarti agama itu kultur) di Indonesia. Sejarang-jarangnya orang melakukan shalat, paling tidak dia masih bisa membaca beberapa kalimat di dalam Al-Qur'an. TPA yang dijabani sedari kecil mau tak mau meninggalkan bekas kuat walau tak lagi dijalankan. Hal yang sungguh berbeda saya temui di Korea Selatan, negeri di mana agama benar-benar sekedar ritual. Agama baru dirasakan ada ketika hari raya Waisak atau Natal. Dan tidak ada yang peduli untuk menanyakan agama ketika kita baru pertama berkenalan. Obrolan mengenai agama mungkin hanya sekedar menanyakan agamamu apa, tidak tertarik untuk bertanya lebih jauh, agamamu itu seperti apa?
Maka, wajar jika pelarian orang-orang Korea ketika stres adalah minuman keras ataupun bunuh diri. Bagi mereka, dengan meminum minuman keras, maka mereka akan mabuk dan mengatakan seluruh permasalahan mereka. Mereka menangis, tertawa miris hingga permasalahan dirasa selesai. Atau ketika masalah sudah dirasa terlalu berat, maka jalan pendek--bunuh diri--pun diambil.
Saya tak menyangkal bahwa banyak juga orang seperti itu di Indonesia, orang-orang yang menganggap campur tangan tuhan tidak sampai pada mereka. Namun, masih banyak orang yang kembali sadar hanya dengan melakukan shalat ataupun membaca satu kalimat Al-Qur'an. Di tengah-tengah rutinitas hidup yang padat dan melelahkan, membaca Al-Qur'an menjadi 'penyembuh' tersendiri, merasuk ke pembuluh-pembuluh darah kita. Meskipun tak mengerti artinya, ada sugesti tersendiri yang menyebabkan kita tenang hanya dengan membaca Al-Qur'an.
Mungkin mas penjual minuman bonbin itu hanya iseng, di sela-sela aktifitasnya menjualkan minuman kepada para pengunjung bonbin. Atau, alam bawah sadarnya membuatnya tergerak untuk sedikit membaca Al-Qur'an di saat ia lelah dengan pekerjaannya. Alam bawah sadar ini yang terus bergerak walaupun diganggu oleh anaknya yang ingin bermain games. Bahkan menunjukkan pada anaknya beberapa doa orang muslim, agar anaknya tak buta. Dan tanpa sadar, menohok saya yang hari ini belum membaca Al-Qur'an. It really works, Sir!
Tabik.
2013-01-25
0 komentar:
Posting Komentar