Kau salah ketika mengatakan bahasa adalah penghambat. Dulu ketika manusia hanya bermodalkan batu dan bahasa sederhana pun mereka bisa hidup. Bukan, jangan salahkan bahasa, tapi pupuklah keterikatan itu.
Benar memang kata orang, menyeruput secangkir kopi atau teh dengan seorang teman memang membuat waktu melesat bagaikan anak panah. Bukan, bukan karena secangkir kopi atau tehnya. Bukan pula suasanya yang mendukung. Tapi karena ribuan kata yang mengalir di sela-selanya.
Anda bisa menikmati secangkir kopi atau teh dengan siapa saja, tapi ternyata belum tentu bisa meresapi hangatnya cerita yang ada di dalamnya. Tidak dengan semua orang ternyata kisah seduhan kopi dan teh bisa dinikmati. Setiap orang punya caranya sendiri-sendiri untuk saling berbagi cerita.
Ya, teman Jepang saya yang bernama Yuki baru saja pulang kemarin. Teman di mana saya bisa menikmati berbagai cerita yang teh dan kopi sajikan, bahkan dengan berbagai macam aroma. Saya bisa merasakan aroma sekolah dengan tugas-tugas, dosen-dosen, dan teman-temannya, aroma Jepang maupun Indonesia di mana kami saling bertukar informasi, aroma perpolitikan baik Korea, Jepang maupun Indonesia, bahkan aroma salah satu istri Presiden Soekarno yang ternyata seorang artis Jepang..!
Nikmat, tentu saja. Karena terkadang Anda hanya bisa menghirup satu macam aroma kopi maupun teh ketika bersama dengan seseorang. Anda ingin berbicara masalah A, tapi Anda tahu dengan dia hanya bisa bicara masalah B. Well, bagi saya itu tidak masalah, bahkan merupakan 'Diversity of Friends' #oke_ngawur.
Terkadang saya berpikir, bagaimana dengan Yuki--yang berbeda kewarganegaraan--saya bisa mengobrol begitu banyak? Bahasa kami berbeda sehingga harus berbicara dalam bahasa Korea yang terkadang membuat kesalahpahaman di antara kami. Kesukaan kami pun berbeda. Cara pandang kami terhadap suatu masalah juga boleh dikatakan tidak sama. Tapi ternyata, selain bahasa dan kawan-kawannya itu, ada hal yang lebih penting dalam sebuah obrolan : keterikatan, rasa saling. Ketika keterikatan itu ada, dalam berbicara apapun kita tidak akan saling bingung atau menyerah tidak mengerti. Perbedaan apapun yang menghalangi tetap saja tidak memutus pembicaraan.
Tapi di situlah letak masalahnya, keterikatan tidak didapatkan secara instan. Dia lahir dari berbagai macam rasa dan interaksi yang terolah matang oleh waktu. Dalam beberapa kasus memang kita bisa merasakan keterikatan yang lahir secara singkat, tapi dia tumbuh alamiah bersama waktu.
Kebersamaan saya dan Yuki yang sesungguhnya bermula dari tempat duduk kami yang berdekatan selama beberapa minggu. Bahkan sesungguhnya ketika kami duduk berdekatan itu, tidak banyak yang kami bicarakan. Kata Yuki dalam suratnya, saya bahkan heran kenapa bisa dekat denganmu padahal di awal kita tak banyak bicara.
Tapi makan bersama, ngopi bareng sambil belajar, menikmati kafe teh unik di sekitar
kampus, itulah saat-saat di mana keterikatan itu mulai terbentuk. Saat kami mulai membicarakan perang--panas maupun dingin--uang tidak ada habisnya, membicarakan efek samping dari perang seperti tentang penyanyi Itsuwa Mayumi, membicarakan situasi politik Korea setelah Pemilihan Presiden, juga tentang salah satu istri Presiden Soekarno yang masih hidup, seorang aktris Jepang. Tentu saja sebelum itu, kami membicarakan tentang dosen-dosen kami, suasana perkuliahan, dan teman-teman kampus.
Saya tidak tahu apakah saya bisa menikmati suasana seperti ini ketika saya pulang ke Indonesia, mengingat saya bukan 'penghuni kafe' di Indonesia. Jelasnya ada banyak cara untuk mempertebal rasa antara saya dengan teman-teman di sekitar saya. Walau jelas saya akan merindukan saat-saat seperti ini. Saat-saat kami menunggu tamu lain pergi dan menduduki tempat favorit -loteng- di kafe favorit kami.
Bukan kopi dan teh yang membuatmu candu, tapi cerita-cerita yang mengalir masuk di setiap tegukannya.
Tabik.
서울, 12년12월24일
오전 11:13
0 komentar:
Posting Komentar