Terkadang kita butuh memahami bahwa tidak ada orang yang bertindak tanpa alasan.
Anda bisa menemui kursi khusus untuk penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil di setiap pojok gerbong subway. Total dua belas kursi di setiap gerbongnya. Tentunya Anda tidak bisa duduk di situ, walaupun sedang kosong. Jatah Anda adalah kursi-kursi yang terletak di tengah gerbong. Tenang saja, jumlahnya tentu melebihi kursi khusus.
Ketika pertama kali menaiki subway (kereta bawah tanah), saya pernah sekali tidak sengaja menduduki kursi khusus tersebut. Padahal warnanya berbeda dari kursi biasa, dan di sekelilingnya adalah orang-orang tua. Namun, mungkin karena semua dalam pandangan saya adalah sesuatu yang baru di mana saya tentu saja tidak sempat memerhatikan sekitar. Sampai seorang kakek menunjukkan tanda kursi khusus sebagai isyarat agar saya pergi.
Sejak saat itu, jelas saya tidak mencoba lagi kesempatan untuk menduduki kursi khusus. Tapi sesungguhnya yang ingin saya tekankan di sini adalah:
Ketika kursi khusus penuh, dan lansia yang menaiki kereta melebihi kapasitas kursi tersebut, relakah kita memberikan kursi untuk diduduki mereka?
Oke, ketika awal-awal saya berada di sini, saya selalu memberikan kursi saya untuk orang yang lebih tua, walaupun terkadang mereka kelihatan masih kuat. Tapi seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa saya tidak 'sebaik' dulu lagi.
Logikanya, ketika saya menempuh perjalanan jauh--melebihi satu jam--tentu saja saya ingin duduk. Tidak mudah terkadang untuk berdiri terus-terusan di dalam kereta selama satu jam lebih. Ingin istirahat, ingin duduk, singkatnya.
Hati saya sudah mengeraskah? Mengikuti pola apatisme yang lazim di kota-kota besar. Tidak 'sebaik' dulu lagi yang selalu mendahulukan orang yang lebih tua untuk duduk. Tentu saja saya masih memberikan kursi ketika orang di sekitar saya lansia yang tidak kuat untuk berdiri lama, atau orang yang benar-benar membutuhkan tempat duduk. Tapi sekarang, saya jarang sekali memberikan kursi untuk mereka--yang walau lebih berumur--yang terlihat masih kuat.
Apatiskah? Tapi dosen saya berpendapat bahwa tidak murni seperti itu. Orang-orang di atas enam puluh tahun--kalau saya tidak salah--di Korea tidak perlu membayar ketika menaiki subway. Itu terkadang yang menyebabkan banyaknya lansia di dalam subway. Di tambah lagi, dengan angka harapan hidup yang terus naik, lansia sekarang tidak lagi seperti dahulu yang 'renta'. Banyak di antara lansia yang masih kuat untuk berdiri bahkan selama satu jam di dalam subway. Apalagi kalau melihat realita orang Korea yang suka mendaki gunung, tak heran ketika mereka masih kuat walaupun sudah berumur lima puluh ke atas.
Ketika kita berposisi sebagai kalangan muda--mahasiswa dan pekerja--terkadang saya memahami tindakan mereka yang tidak mau merelakan kursinya. Lansia tidak diwajibkan membayar ketika menaiki subway, sedangkan kalangan muda harus membayar. Sebagai pekerja yang pulang senja, tentu saja mereka ingin menikmati istirahat sejenak di dalam subway barang sepuluh dua puluh menit.
Maka dari itu, jangan heran ketika Anda mendapati jarangnya orang yang memberikan kursinya untuk lansia, penyandang cacat, ataupun ibu hamil. Yang Anda dapati adalah orang yang tidur--atau pura-pura tidur--ataupun yang sibuk dengan gadget-nya. Orang-orang Korea pun sudah paham akan fenomena apatisme ini. Mereka tidak lagi meminta untuk diberikan kursi. Terkadang saya memberikan kursi saya untuk seorang nenek atau kakek, tapi mereka menolak dan memilih berdiri.
Well, saling memahami yang bagus, walaupun ada ironi di dalamnya mengingat orang sudah saling tidak peduli lagi satu sama lain. Mungkin bukan 'sudah', hanya 'sedang'.
Tabik.
서울, 12년12월18일
오후 9:43
0 komentar:
Posting Komentar