Apa yang kita lihat dari Korea? Ketika kita melihat dari jarak jauh, yang kita lihat mungkin tancapan gedung-gedung pencakar langit, melambangkan kemakmuran yang Korea capai saat ini. Tak salah memang, karena saya pun memandangnya begitu.
Namun, di sebuah sudut di ibukota, Seoul, ternyata kita bisa melihat sisi lain dari Korea. Sisi lain dari gambaran gedung-gedung tinggi yang menjulang. Sebuah desa kecil, mungkin tidak layak disebut desa karena merupakan daerah yang sangat kecil. Di sini, jangan dibayangkan gedung-gedung yang tahan terhadap gempa dan angin topan. Jangan juga membayangkan jalan-jalannya luas yang muat untuk beberapa mobil sekaligus.
봉사활동 (Volunteer Activities) di Guryong Village, Gangnam, Seoul.
Gb1. Bersama dg volunteer lainnya menuju Desa Guryong |
Sebagai latar belakang, Gangnam adalah wilayah elit di Seoul. Para pengusaha, artis-artis berkumpul di sini. Karena itu, harga makanan di Gangnam tentu saja berbeda dengan harga makanan di Seoul wilayah lainnya. Karena itu, menjadi miris ketika saat kita berdiri di desa Guryong ini, yang kita lihat semuanya adalah gedung-gedung tinggi. Jauh berbeda dengan keadaan Guryong sendiri.
Gb2. Rumah2 Triplek yang basah saat hujan |
Memang, perbedaannya tidaklah separah Jakarta, di mana dibalik gedung tinggi berdiri gubuk-gubuk kecil. Namun, tetap saja ini merupakan catatan bagi Seoul, mengingat perbedaan pendapatan tidak terlalu besar di antara penduduknya.
Yang membuat saya lebih miris adalah, mobil-mobil yang berjajar rapi di depan rumah-rumah di desa Guryong ini. Tentu saja saya heran, bagaimana mungkin untuk rumah saja tidak layak, terdapat banyak mobil di depan rumah mereka. Memang pernah ada lelucon, semiskin-miskinnya orang Korea, mereka sanggup untuk membeli mobil. Ditambah lagi fakta bahwa harga rumah di sini memang terlampau mahal. Tapi tetap saja ada dialektika yang terjadi di sini.
Walaupun yang saya dengar, mobil-mobil itu bukan milik mereka, tapi hanya merupakan mobil yang diparkir di situ. Tapi bukankah itu merupakan keadaan yang lebih miris lagi? Memang lahan parkir di Korea sangatlah sempit, dan tarif parkirnya juga mahal, tapi ketika anda memarkir mobil di depan rumah yang penghuninya harus berjuang hidup pada saat musim dingin, tidakkah ada perasaan bersalah?
Gb3. Mobil, tumpukan sampah, gedung2 tinggi berpadu |
Well, saya kira bukan sepenuhnya salah pemerintah Seoul ketika masih ada keadaan seperti ini. Bukannya pemerintah tidak pernah mencoba merelokasi mereka saya kira, namun adanya ke'kekeuh'an penduduk Guryong yang menyebabkan keadaan ini terus ada. Penduduk Guryong yang kebanyakan berumur 40-an ke atas mungkin masih punya anggapan bahwa tanah itu adalah tanah turun temurun sehingga urung pindah (sama dengan anggapan kebanyakan masyarakat kita). Selain itu, mereka tentu saja memikirkan ketika sudah pindah ke tempat yang lebih 'baik', bagaimana dengan sewa rumah selanjutnya yang tentu saja akan mahal?
Bagaimanapun, saya kembali teringat dengan Indonesia saya tercinta. Teringat akan begitu banyaknya peer yang dimiliki oleh kita semua. Pemukiman kumuh, pendapatan yang tidak merata, korupsi, pendidikan, dan sebagainya menjadi momok yang terus-terusan menghantui kita. Saya juga sesungguhnya sedikit sedih ketika bercerita pada teman saya bahwa pemandangan ini (baca: desa Guryong) bukanlah pemandangan yang aneh di Jakarta. Di satu sisi, saya tidak merasa aneh dengan kontraritas perkotaan, namun di sisi lainnya saya merasa bahwa itu adalah cerita miris yang tidak seharusnya dibagi.
Setiap negara memiliki permasalahannya sendiri, betapapun majunya negara tersebut. Mungkin pekerjaan kita masih banyak, terkait masa depan Indonesia, namun saya percaya itu hanyalah masalah waktu. Bibit-bibit yang telah kita tanam sejak dahulu hingga saat ini, entah siapa yang menuainya, pasti akan ada buahnya nanti.
Terus berjuang untuk Indonesia.
Waiting for me Indonesia.
2012년07월07일
오후 9:36
1 달이 넘어다가...
0 komentar:
Posting Komentar