Karakter di
atas bermakna ‘kakak laki-laki’. Tanda kotak di atasnya berarti mulut dan dua
garis di bawahnya berarti kaki. Seseorang yang berjalan (dengan kaki) terlebih
dahulu dan memimpin dengan kata-kata, terlebih ketika sang ayah tidak ada, ia
adalah kakak (laki-laki).
Dalam budaya
kita, agak sulit dipahami apa relasi antara mulut dan kaki sehingga bisa
membentuk makna kakak. Tapi bagi orang China—yang kita disuruh berguru sampai
ke sana—seorang kakak itu bukan hanya sekedar orang yang lebih tua daripada adiknya,
tapi seseorang yang berjalan atau memimpin lebih dulu. Seorang kakak menjadi
contoh ketiga setelah Ayah dan Ibu, bagi adik-adiknya.
Namun, dalam
budaya yang menggurita dan mengglobal ini, adakah makna ‘kakak’ tersebut
dipahami sama sebagaimana dahulu? Apakah seorang ‘kakak’ masih menyadari bahwa
dirinya adalah contoh bagi adik-adiknya, yang secara tak sadar hampir setiap
perilakunya akan dicontoh? Ataukah, di masa di mana seseorang tidak lagi
menjadi seorang ‘kakak’ maupun adik, apakah ia kehilangan sebuah peran di mana
ia harus belajar menjadi seorang teladan?
Saya pun—sebagai
seorang kakak—sering merasa tidak sadar bahwa apa yang saya lakukan dicontoh
oleh adik-adik saya. Saya menyukai artis A, ternyata adik saya pun begitu. Saya
ingin pergi ke sini, adik saya pun ingin juga mengikuti jejak kakaknya. Bahkan
tanpa disadari, riwayat hidup saya yang menempuh kuliah di universitas A,
kemarin sempat pergi ke negara B, dipromosikan oleh mereka, membuktikan bahwa
mereka mencerna penuh tingkah laku saya dan ingin mencoba mirip seperti
kakaknya.
Dan mungkin
jawaban dari pertanyaan, kenapa saat ini Indonesia seakan tidak memiliki
teladan (pemimpin) yang baik, adalah karena kebanyakan dari kita lupa bahwa
kita adalah seorang kakak, lupa bahwa kita adalah seorang teladan yang dicontoh
orang lain. Apalagi yang bisa dicontoh oleh seseorang ketika ayahnya sibuk
bekerja, ibunya pun begitu, dan kakaknya seperti begitu saja meninggalkannya? Seperti
orang bilang, rumah adalah tempat pembelajaran pertama. Memang, entah itu
pembelajaran baik maupun buruk. Dan lagi, ketika ia mencoba mencari
pembelajaran di luar, yang ia temui adalah ironi bangsa yang terus merasa
kekurangan pemimpin.
Menjadi seorang
teladan memang bukan hal yang mudah. Merujuk kembali ke makna karakter China di
atas, posisi seorang ‘kakak’ adalah menjadi pemimpin, terutama ketika sang ayah
tidak ada. Ini bukan permasalahan seorang ‘kakak’ menyalahkan ayahnya karena ia
tak ada untuk menjadi seorang pemimpin, tapi karena ini adalah tugas seorang ‘kakak’
ketika sang ayah tidak di tempat. Kalau kata orang China bilang, inilah yang
mereka lihat selama beratus-ratus tahun sebelum tulisan tersebut dibentuk.
Pada akhirnya,
keteladanan itu menjadi tugas kita, baik bagi seorang kakak, seorang adik,
maupun yang bukan seorang kakak maupun adik. Kita tidak menyalahkan para pendahulu
kita yang telah tiada dan kini tidak bisa lagi memberikan pelajaran kepada para
penerusnya, dan juga bukan perkara menyalahkan ‘ayah-ayah’ sekarang yang tidak
menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Karena itu berarti, saatnya bagi
seorang ‘kakak’ untuk menjalankan tugasnya memimpin ‘adik-adik’ di belakangnya,
hingga nanti sampai ‘adik-adik’nya bisa berjalan sendiri dan menjadi seorang ‘kakak’.
Tabik.
Setiap dari kita adalah manusia yang berjalan dan berbicara lebih dulu dibandingkan manusia lainnya. Meski kita juga entitas yang berjalan dan berbicara setelah melihat orang lain.
2013-08-01
Teruntuk adik-adikku yang telah dan akan terus
menjadi seorang ‘kakak’
2 komentar:
Dan saya adl adik yg terlalu terkonsep oleh karakter dan jalan pikiran kakak2 sya...
Nice post, kak Asma.. :)
iya, sadar ga sadar ternyata sosok kakak itu mempengaruhi adik2nya, :)
Posting Komentar