Tidak ada masa singkat yang bisa ditempuh oleh seseorang untuk menjadi seorang Profesional.
Ibu Nug, menceritakan kisah ini kepada saya--lebih tepatnya kami. Saat penyeleksian guru untuk ditempatkan di SMK Alat Berat, terpilihlah sekitar 8 orang yang dirasa layak untuk mendapat amanah ini, dari total kuota 9 orang. Kenapa begitu sulit? Kenapa begitu sedikit? Jawabannya adalah karena mahasiswa saat ini--yang diseleksi tersebut--begitu menjunjung profesionalitas sehingga tak mau kalau ke'profesional'an mereka hanya dihargari tiga setengah juta rupiah.
Saya rasa itu cerita yang tak lagi baru, mengingat kisah-kisah seperti itu mungkin akan sering ditemui di berbagai tempat. Mahasiswa baru lulus, sudah merasa diri mereka profesional dan kurang jika hanya mendapat gaji sekitar 3-4 juta per bulan.
Profesionalisme secepat kilat. Profesionalitas yang tak lagi dipengaruhi variabel waktu dan latihan, kini rasanya bisa didapatkan dengan begitu mudah. Bukan. Tapi sebelum itu, rasanya ada pergeseran makna 'profesionalitas' di sini.
Bukan lagi dimaknai sebagai ahli dalam bidangnya, menjunjung tinggi etos dan prinsip, tapi dimaknai dengan seberapa besar uangnya. Pragmatis? Ya, miris! Tanpa menampik apa yang telah diberi oleh universitas, apa yang didapat oleh mahasiswa di bangku perkuliahan masih sebatas teori. Universitas sebagai menara gading belum lagi bisa menyentuh nilai-nilai nyata yang ada di dunia kerja ataupun masyarakat. Jadi, layakkah fresh graduate dianggap sebagai seorang profesional?
Jujur saja, saya masih merasa apa yang saya pelajari di bangku kuliah ini adalah sesuatu yang masih abstrak. Yang hingga saat ini saya heran kenapa saya harus mempelajari hal tersebut? Kenapa ada mata kuliah seperti itu? Dan apakah itu akan berguna ketika saya bekerja nanti? Dalam satu kata, jelas saya belum profesional, meraba-raba arti dari perkuliahan yang saya pelajari saja saya belum mampu, bagaimana saya mau menganggap diri saya profesional?
Akhirnya saya mengerti kenapa mahasiswa-mahasiswa Korea getol mengikuti program exchange, belajar bahasa (biasanya bahasa Inggris), ataupun internship hingga ke luar negeri. Untuk menjadi profesional, mereka sadar bahwa mereka tak bisa mengandalkan sistem saja. Merekalah yang harus aktif mencari berbagai program tempat mereka bisa ditempa dan menempa diri, sehingga ketika lulus eksistensi merekalah yang akan dilihat, bukan sekedar darimana mereka lulus.
Sayangnya kita masih sangat tergantung sistem. Nama universitas unggulan seakan sudah menjadi jaminan bahwa kita akan memegang posisi terbaik, tanpa mencoba mempraktekkan apa yang kita telah dapatkan.
Imam An-Nawawi memang telah berhasil menyelesaikan menulis kitab Riyadush Shalihin pada usia muda. Tapi mudanya usia tersebut bukan berarti keprofesionalannya juga ditempuh dalam waktu yang sebentar. Ketika berusia 19 tahun dan dibawa oleh ayahnya ke Damaskus, selama dua tahun beliau tidak bisa tidur nyenyak karena ingin mendalami semua pelajaran yang diberikan di madrasah.
Usianya memang muda namun masa pembelajaran ternyata tidak bisa berusia muda juga.
Zaman memang semakin instan, tapi pembelajaran tidak pernah bisa instan
Tabik.
2013-07-21
0 komentar:
Posting Komentar