http://www.peterlim-mba.com/files/motivation/23-kreatif-inovatif.gif |
Berbicara tentang inovatif bukan hanya tentang perkembangan
teknologi baru yang ‘inovatif’, tapi tentang ide, pikiran, dan filosofi yang
meresap dalam hidup manusia.
Selama ini, kita cenderung mengorelasikan kata ‘inovatif’ dengan ‘teknologi’.
Seakan-akan, yang perlu inovasi itu hanyalah teknologi bendawi. Padahal,
sejatinya yang terus berinovasi adalah pikiran manusia, teknologi atau
kebendaan itu hanyalah buah dari inovasi manusia. Inovasi berputar dalam otak
manusia, dan mampu membuahkan pikiran baru yang bersifat non-bendawi, atau juga
yang bersifat bendawi.
Tentu saja benda-non-bendawi ini tergantung dalam filosofi atau
pandangan hidup suatu bangsa. Sebagai contoh, saya ambil filsafat orang Korea.
Ciri utama filsafat Korea adalah praktis, pragmatis, dan materialis. Korea
banyak mengambil langkah-langkah inovatif untuk memperbaiki keadaan negerinya,
dan pemikiran inovatif tersebut pada akhirnya selalu berbuah hasil yang
materialis. Inovasi yang terus dilakukan dalam bidang teknologi untuk menopang
ekonomi jelas menghasilkan gadget-gadget canggih yang mampu menarik perhatian
banyak orang. Dan hasil dari pemikiran inilah yang berupa material—uang—yang pada
akhirnya membuat mereka meraih kebahagiaan. Inovasi untuk kebahagiaan, dan
kebahagiaan itu berupa material, bukan terletak di hati.
Tentu saja bukan material yang diharapkan dari inovasi-inovasi. Masyarakat
yang inovatif akan menghasilkan peradaban yang maju dan bermoral, dan
keuntungan material hanyalah salah satu dampaknya. Dan ketika ini sudah
disadari, langkah inovatif apa yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalah
monoton negeri ini? Yang berkisar di antara perebutan kekuasaan, satir politik,
kesenjangan ekonomi, kleptokrasi, dan lainnya.
Sebelum menuju langkah inovatif, yang harus dipikirkan adalah
bagaimana memunculkan pikiran inovatif itu. Manusia dengan anugerah akal yang
disematkan padanya, juga diberikan pikiran kritis yang akan muncul jika melihat
sesuatu yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Pikiran kritis ini bagaikan
pisau, jika tidak pernah digunakan maka ia akan tumpul, kehilangan daya kritis.
Sedangkan jika terus digunakan maka pikiran kritis akan terus berkembang, yang
menjadi cikal bakal pikiran inovatif.
Namun daya kritis ini akan berhenti pada kritik-kritik normatif
jika tidak ada kemauan belajar pada diri manusia. Perwujudan daya kritis
menjadi inovasi, membutuhkan pengetahuan agar inovasi itu bisa menimbulkan
manfaat bagi banyak pihak. Dan perwujudan inovasi ini menjadi buah pikiran atau
materi jelas membutuhkan pengetahuan praktis. Jika tidak ada kemauan untuk
terus belajar, maka pikiran kritis ini hanya akan berhenti pada tataran kritik,
tanpa saran dan realisasi.
Dan di sinilah yang penting, inovasi-inovasi yang ada itu untuk
apa? Inovasi lahir setiap hari dari pikiran kita, namun jika tidak ada satu
frame tujuan dan cita-cita yang pasti, maka inovasi ini akan meloncat ke luar
namun segera menghilang. Perlunya tujuan dan cita-cita yang pasti—pribadi maupun
komunal—adalah untuk mewujudkan inovasi menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat
bagi manusia.
0 komentar:
Posting Komentar