Alkisah seorang Bhisma, telah berjanji menjadi brahmacari,
yaitu seseorang yang tak akan menikah seumur hidupnya. Ketika mengucapkan janji
tersebut, Bhisma merengkuhnya dalam-dalam dan bersumpah tak akan
mengingkarinya. Benar, ia memang benar-benar memegang teguh janjinya, meskipun
Dewi Amba yang mencintainya datang kepadanya. Bhisma memang punya tanggung
jawab untuk menikahi Dewi Amba, namun ia memilih untuk setia menjadi
brahmacari. Karena ia sadar bahwa jika sumpah tersebut ia langgar, akan berakibat
buruk pada negara dan keturunannya. Ia memegang teguh janji yang ia sematkan
pada dirinya, melampaui jarak-jarak waktu yang ia putuskan untuk ia lewati,
hingga titisan Dewi Amba yaitu Srikandi, melepaskan anak panah yang berarti
menyelesaikan janjinya.
Cerita Bhisma Mahawira yang terangkum dalam epos
Bharathayudha mungkin bukan merupakan cerita yang asing lagi. Bhisma terkenal
sebagai seseorang yang memegang teguh janji dan amanah yang ia sematkan pada
dirinya dan tahu betul apa akibatnya bila ia melalaikan amanah tersebut. Ada
kesadaran di sini, yaitu kesadaran akan beratnya amanah. Suatu hal yang mungkin
asing dan sulit ditemui pada zaman sekarang. Amanah di manapun kapanpun akan selalu
menjadi hal yang berat, tapi manusia kini menganggapnya semakin enteng.
Setiap dari kita tentu saja harus memegang amanah, meski
kadang tanpa kita sadari. Amanah-amanah itu berseliweran di depan kita,
sehingga kita seringkali lupa. Paling tidak, ada tiga hal yang dunia amanahi
kepada kita:
- . Harta
Setiap orang di dunia ini diamani harta untuk dikelola, bahkan
mereka yang terkesan jarang menggenggam uang di tangannya. Allah telah
menetapkan rezeki bagi setiap makhluk di dunia, maka setiap makhluk—terutama
manusia—diembani amanah untuk mengelola harta. Besar kecilnya harta yang kita
pegang bukan perkara besar kecilnya amanah tersebut. Namun terkadang besarnya
jumlah uang yang ada di genggaman kita membuat kita lupa, bahwa mungkin ada hak
orang lain pada uang yang kita genggam.
Uang yang sedikit membuat kita harus pandai-pandai bersyukur
dan tidak merutuk Tuhan, uang yang banyak menuntut kita untuk terus pada ritme
kesederhanaan. Kenapa kesederhanaan? Ketika kita diberi rezeki berlebih dan
merasa bisa membeli sesuatu yang “lebih” dari biasanya, di situlah tangan kita
mulai terlatih untuk menggunakan “lebih dan lebih”. Membeli yang “lebih” tentu
tak salah, tapi membeli “lebih dan lebih” tentu saja salah. Kesederhanaan,
qana’ah, yang harus terus ditempa untuk menyadari bahwa jumlah harta yang kita
genggam merupakan amanah.
- 2. Kehormatan
Kita hidup dalam kelas-kelas yang “diadakan”. Kelas sosial tinggi,
menengah, rendah. Kelas-kelas ini mengakibatkan sadar-tak-sadar kita sering
memandang rendah mereka yang berada di strata sosial bawah. Kita sering
meremehkan perbuatan yang mereka lakukan.
Sebagai contoh, kita sering
menganggap bahwa orang yang bersedekah 1 milyar lebih “terhormat” daripada
mereka yang bersedekah seratus ribu. Padahal mungkin orang yang bersedekah 100
ribu itu menyisihkan uangnya dari pendapatannya yang hanya dua ratus ribu per
bulan. Sesungguhnya ada pengorbanan lebih di sini, tapi karena jumlah yang
lebih kecil, kita sering abai. Abai akan kehormatan orang tersebut.
Amanah juga berarti menjaga kehormatan orang lain. Tak melirik sebelah
mata, apalagi melecehkan perbuatan yang telah mereka perbuat.
- 3. Jiwa
Amanah berupa jiwa adalah amanah yang mungkin sering kita lupa. Pengelolaan
negeri yang salah bukan hanya berakibat secara fisik—jatuhnya negeri tersebut—tapi
juga mengakibatkan jiwa-jiwa yang ada di negeri tersebut hancur. Jiwa memang
abstrak, tak kasat mata, karena itu sering kita lupa bahwa merusak jiwa akan
lebih menghancurkan daripada sekedar menghancurkan secara fisik.
Sama seperti cerita Bhisma yang disuguhkan di awal tulisan, Bhisma sadar
bahwa amanah yang tak ia jaga akan mengakibatkan kehancuran pada keturunan dan
negaranya. Bhisma sadar bahwa amanah yang tak terjaga bukan hanya mengakibatkan
kehancuran fisik, tapi juga jiwa manusia. Ia berkorban demi menjaga jiwa
keturunannya tetap pada trah tinggi Mahabharatha.
Yang bisa
diambil dari cuplikan cerita Bhisma ini adalah pentingnya menjaga jiwa. Amanah-amanah
yang kita terima memiliki kaitan dengan jiwa-jiwa manusia. Amanah organisasi,
bukan hanya sekedar menjalankan organisasi tersebut, tapi menjaga dan
menumbuhkembangkan mereka yang membersamai kita agar tetap bisa melanjutkan
perjuangan ketika amanah tersebut sudah selesai. Setitik nila yang kita lakukan
mungkin bisa mengakibatkan keburukan pada seluruh jiwa yang terkait. Pentingnya
bersikap hati-hati, karena ternyata amanah bukan sekedar kata yang diucapkan.
Harta,
kehormatan, dan jiwa. Sebagai manusia Indonesia yang lahir di Indonesia kita
disuguhi ketiga amanah ini secara utuh. Amanah menjaga kekayaan Indonesia dan
tak jatuh ke tangan yang salah. Amanah menjaga kehormatan manusia Indonesia di
mana pun mereka berada. Dan amanah menjaga jiwa-jiwa manusia Indonesia, bukan
hanya manusia saat ini tapi manusia Indonesia yang telah lalu dan yang akan
datang.
Sama seperti
Bhisma yang memegang teguh tiga dharma satriya. Dharma pada sumpahnya, dharma
pada negaranya, dan dharma pada kebajikan. Jika ketiga dharma ini membawa
Bhisma menjadi dewa pada trah Mahabharatha, maka ketiga amanah di atas akan
mengangkat level kita bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Tabik.
2013-06-04
0 komentar:
Posting Komentar