Bukan, salah ketika saya mengira bahwa saya tidak akan membayangkan saat-saat seperti ini. Saya sadar ini adalah mimpi saya sejak menginjak sma, dan saya tahu bahwa sejak saat itulah saya membayangkan saat-saat seperti ini.
Korea. Akhirnya lepas landas juga.
Penat, jelas. Setelah melalui begitu banyak tahapan hingga pada akhirnya saya terduduk dalam pesawat Garuda Indonesia tujuan Incheon International Airport, Seoul. Proses seleksi, paspor, tiket, visa, dan urusan tetek bengek lainnya. Hingga saya sadari bahwa ternyata bukan persoalan mudah meninggalkan kampung halaman.
Paspor, Jalan Kaliurang—Jalan Solo, erotisme melawan panas dan ganas
Mulai dari mengurus paspor—yang sesungguhnya tidak bisa dikatakan sulit—namun cukup membuat waktu saya tersita. Proses pembuatan yang seharusnya hanya memakan waktu lima hari, molor menjadi enam hari. Apa alasannya sampai saat ini saya tidak tahu. Cukup berat melalui jalan Solo menuju kantor Imigrasi, terkadang dengan angkot—yang saya harus bertanya kepada kondektur—, terkadang dengan motor yang cukup membuat telapak tangan saya terbakar. Tapi ketika akhirnya paspor sudah ada di tangan, maka tidak ada kata lain selain lega. Lega akhirnya satu tahapan selesai.
Pengumuman, bahwa tak ada perjuangan yang sia-sia
Pengumuman yang terlambat sekitar seminggu juga pada akhirnya membuat saya harus mengorbankan kegiatan lain. Pengumuman diberitahukan pada tanggal 7 Februari, sementara tanggal 8 Februari saya harus ke Tasik untuk mengikuti DM2. Apalah daya, pengurusan tiket, visa, dll yang membutuhkan waktu cepat membuat saya harus membatalkan kepergian saya. Mungkin tahun depan, dan semoga tahun depan saya bisa menyusul DM2. Terkadang ada rasa menyesal ketika mengingat perjuangan untuk lolos seleksi DM2. Tapi kemudian mengingat bahwa ini juga perjuangan, maka saya yakin tidak ada yang sia-sia.
Tiket
Ketika tanggal 7 Februari saya dikirimi email oleh pihak Kyunghee University, mereka menyarankan saya untuk segera memesan tiket pesawat. Bahkan, tanggal 10 Februari scan tiket tersebut sudah harus dikirimkan kepada mereka—yang membuat saya batal mengikuti DM2. Maka saya berdua dengan teman saya langsung ke sana kemari untuk mencari tiket (murah). Bukan apa-apa, meskipun nanti diganti, tapi tetap saja Ayah saya harus pontang-panting mencari uang untuk membeli tiket. saya masih ingat ketika tanggal 8 saya menanyakan harga tiket, itu sekitar 527 dolar. Esoknya ketika saya benar-benar akan membeli tiket, harganya sudah turun menjadi 431 dolar. Harga turun hampir seratus dolar! Mungkin tidak bisa dikatakan beruntung, tapi mungkin memang itu jalannya. Terbesit niat untuk membeli barang-barang lain yang mungkin akan saya butuhkan di sana—kata lain, sedikit hedon. Tapi ternyata Allah telah mengalihkan uang tersebut untuk keperluan mengurus visa. Saya kira biaya untuk mengurus visa hanya sekitar 300-400 ribu, karena memang saya berniat untuk membauat visa 3 bulan saja. Namun karena dalam Certificate of Admission tertulis bahwa saya akan ada di Korea hingga bulan Desember, pihak Kedutaan Besar pada akhirnya membuat visa untuk sepuluh bulan. Harganya pun melonjak menjadi 900 ribu. Apa boleh buat, ternyata memang uang itu sudah ada tempatnya, bukan kita yang berhak untuk mengutak-atiknya.
Masalah kembali muncul ketika pihak Kyunghee University meminta saya—dan teman saya—untuk mengganti tiket one-way menjadi tiket return. Hal ini karena akan mempermudah proses reimbursement. Mungkin ini juga kesalahan saya, tidak memesan tiket return, tapi memang semata-mata untuk menghemat pengeluaran (lagi). Tidak ada anjuran untuk membeli tiket return, jadi saya pun berpikir membeli tiket one way tidak apa-apa, nanti di sana baru membeli tiket pulang ke Indonesia. Tapi ternyata begini jadinya. Tidak salah memang, hanya mungkin akan menemui sedikit kesulitan ketika proses pengembalian pembayaran.
Tiket tidak bisa diubah, saya (orang tua) tidak ada uang lagi untuk membeli tiket pulang ke Indonesia. Saya sudah katakan itu kepada mereka. Belum ada balasan memang, tapi saya tahu bahwa saya harus menanggung resiko yang mungkin agak lebih sulit nanti di sana. Tak apa, toh hal itu nantinya akan menjadi pengalaman baik untuk saya maupun orang lain.
Segala hal yang berkaitan dengan uang, yaitu kapan nanti saya akan mendapatkan living cost-nya, uang asrama, jujur sampai saat ini saya belum tahu. Mungkin memang bukan sekarang—8000 meter di atas permukaan laut—saya harus memikirkan apa yang akan terjadi dengan semua itu, tapi nanti. Dan saya berharap tidak akan ada masalah serius yang akan terjadi. Keep praying, that’s all.
Sampai saat ini, sekitar 17.000 kaki melintasi Laut Jawa, saya hanya bisa tersenyum, menangis, dan pasrah. Tersenyum karena mengingat bahwa ternyata saya pernah bermimpi dan kini saya telah melintasi mimpi itu. Menangis karena ternyata berat meninggalkan kampung halaman, orang tua, adik-adik saya, teman-teman, amanah. Dan pasrah karena saya tidak bisa membayangkan apa yang sesungguhnya ada di sana nanti. Selama ini hanya bayangan, imaji dari cerita dan video yang saya tahu.
Pelan, imaji ini pun merambat menjadi reali.
Ya, tak ada salahnya bermimpi, karena ketika belum atau sudah melewati mimpi tersebut, kita selalu bisa tersenyum karena mengingat kita pernah bermimpi.
금, 오전 1:07, 2012년02월24일
3 komentar:
Assalamualaykum asma'
subhanallah ya
korea
banyak loh anak muda indonesia yg pengen kesana.
ditunggu tulisan2 berikutnya
^^,
Waalaikumsalam mb desy :)
hehe,,nunggu ada yang nyusul ni,,
hehe,,ok ok,,doakan istiqpmah menulis ya mb..
subhanallah... mimpi yang terwujud memang indah.
assalamualaikum, mba...
aku follower baru kamu, hehehe
suka korea jadi blog walking ke blog kamu deh.
bangapseumnida m(_ _)m
Posting Komentar