Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Kepemimpinan memang berbicara tentang seorang pemimpin. Tapi terkadang kita terlupa bahwa dalam suatu sistem selalu ada pemimpin dan orang yang dipimpin. Orang sering lupa akan unsur kedua, mengenai orang yang dipimpin.
Dalam Islam, memang sudah ada term yang membahas tentang Al-Qiyadah wal Jundiyah. Dalam konsep ini, unsur yang terpenting adalah adanya kebiasaan interaksi, terbinanya hubungan hati dan jiwa yang sehat tanpa bermodal oleh hal-hal yang membuat kedua belah pihak tersakiti. Hal inilah yang akan melahirkan tsiqah mutabadilah atau timbal balik (Ahmad, 2005:20). Di dalam konsep ini kita melihat bahwa pentingnya memenuhi ketaatan yang dilakukan oleh orang yang dipimpin, dan ketaatan ini tidak akan timbul jika pemimpinnya tidak menimbulkan perasaan tsiqah (percaya dan rasa puas) kepada bawahannya.
Terkait sinergitas antara pemimpin dan orang yang dipimpin dalam suatu kepemimpinan, saya jadi teringat akan dua teori fundamental dari teori sastra, yaitu teori strukturalisme dan pragmatik. Teori strukturalisme adalah teori yang meneliti dan menelaah unsur-unsur internal yang ada dalam suatu karya sastra. Sedangkan teori pragmatik adalah teori yang berpusat pada pembaca.
Strukturalisme adalah cara pandang. Seorang pemimpin harus memandang dengan detail bahkan bukan hanya sekedar dari hal-hal yang bersifat fisik, namun juga hal-hal bersifat non-fisik. Strukturalisme adalah cara pandang apa adanya. Seorang pemimpin memandang musuh, rakyat, dan tentaranya secara apa-adanya, sesuai fakta yang ada. Terkadang sebuah karya sastra tidak dapat dipahami sekali pandang. Untuk menganalisisnya melalui pendekatan struktural, seseorang benar-benar harus mengamati apa saja yang ada dalam karya sastra tersebut. Bagaimana temanya, tokoh dan penokohannya, alurnya, hingga settingnya. Unsur-unsur ini ketika disatukan dan dirangkai, dapat digunakan untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dimaksud oleh pengarang, walaupun hal yang niscaya ketika dua orang sama-sama menganalisis dengan metode ini, tetap akan ada perbedaan.
Seorang pemimpin diciptakan dengan lingkungannya sendiri-sendiri, momentum-momentum tersendiri. Thomas Carlyle, filosof dan sejarawan Skotlandia merumuskan teori heroic determinism sebagai berikut: “Pada seluruh babakan sejarah dunia, kita akan menemukan Manusia Besar sebagai juru selamat yang niscaya di zamannya; sebagai sambaran kilat yang tanpa itu bahan bakar tidak akan terbakar. Sejarah Dunia ... hanyalah biografi Manusia Besar.” (Rakhmat, 1999:174).
Menurut Jalaluddin Rakhmat, seseorang menjadi manusia besar—pemimpin—ketika dia memiliki kemampuan intelektual untuk memahami realitas dan kemampuan bertindak yang tepat. Dia bukanlah seseorang yang hanya berkutat pada teori filsafat yang berupa konsep dan gagasan besar. Tapi ia harus bisa menangkap realitas. Ia harus mengerti apa yang terjadi pada zamannya (Rakhmat: 1999: 174).
Jika Anda pernah melihat film Red Cliff, tokoh-tokoh yang ada dalam film tersebut menempati posisinya masing-masing. Zhu-ge Liang sebagai pengatur strategi, Zhao Yu sebagai jenderal perang, Liu Bei sebagai seorang pemimpin yang membawahi para pemimpin, maupun dari pihak lawan Cao-Cao sebagai jenderal perang, dan anak buahnya yang berada di pos masing-masing, apakah angkatan laut maupun angkatan darat. Setiap dari mereka memiliki sudut pandang tersendiri dalam menghadapi realita yang ada di zamannya. Sudut pandang yang berbeda ini akhirnya menghasilkan gagasan dan kontribusi yang sesuai. Gagasan-gagasan ini jika tidak berkumpul pada satu tempat yang tepat, maka hanya akan menghasilkan konflik. Tetap diperlukan seseorang yang benar-benar mengampu seluruh ide dan gagasan anak buahnya. Seorang pemimpin yang baik harus tahu bagaimana menempatkan dan mengarahkan gagasan yang dimiliki olehnya dan oleh anak buahnya.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, seseorang menjadi manusia besar—pemimpin—ketika dia memiliki kemampuan intelektual untuk memahami realitas dan kemampuan bertindak yang tepat. Dia bukanlah seseorang yang hanya berkutat pada teori filsafat yang berupa konsep dan gagasan besar. Tapi ia harus bisa menangkap realitas. Ia harus mengerti apa yang terjadi pada zamannya (Rakhmat: 1999: 174).
Jika Anda pernah melihat film Red Cliff, tokoh-tokoh yang ada dalam film tersebut menempati posisinya masing-masing. Zhu-ge Liang sebagai pengatur strategi, Zhao Yu sebagai jenderal perang, Liu Bei sebagai seorang pemimpin yang membawahi para pemimpin, maupun dari pihak lawan Cao-Cao sebagai jenderal perang, dan anak buahnya yang berada di pos masing-masing, apakah angkatan laut maupun angkatan darat. Setiap dari mereka memiliki sudut pandang tersendiri dalam menghadapi realita yang ada di zamannya. Sudut pandang yang berbeda ini akhirnya menghasilkan gagasan dan kontribusi yang sesuai. Gagasan-gagasan ini jika tidak berkumpul pada satu tempat yang tepat, maka hanya akan menghasilkan konflik. Tetap diperlukan seseorang yang benar-benar mengampu seluruh ide dan gagasan anak buahnya. Seorang pemimpin yang baik harus tahu bagaimana menempatkan dan mengarahkan gagasan yang dimiliki olehnya dan oleh anak buahnya.
Terkadang klise ketika memikirkan bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang harus tahu segalanya, meskipun hanya pada taraf permukaan. Tapi mau tidak mau kita—bukan hanya pemimpin—memang adalah orang yang dituntut untuk paripurna, karena kita hidup di zaman yang kompleks. Kita hidup di zaman di mana bukan hanya satu ras bangsa yang hidup, satu suku, dan karena kita hidup bukan untuk sendiri—adakalanya diri kita pun heterogen.
Pemimpin strukutralis, mungkin itu yang saya tawarkan untuk minimnya pemimpin saat ini. Pemimpin yang melihat secara struktural dan utuh objek yang akan mereka pimpin. Pemimpin yang mampu menganalisis dan akhirnya menyimpulkan juga memberi solusi untuk keadaan yang mereka alami saat ini. Kita sering terkagum-kagum akan tokoh-tokoh pemimpin yang ada dalam cerita fiksi maupun film—melihat keparipurnaan yang ada. Tapi tak dapat dipungkiri juga bahwa hal itu bukan tidak mungkin. Paripurna memang sesuatu yang musykil—hanya ada satu yang paripurna, Rasulullah—tapi perjalanan menuju keparipurnaan itu pun sesungguhnya adalah kesempurnaan.
Kedua, ketika pemimpin sudah ada, maka akan ada pula yang dipimpin. Terkadang kita terlalu melihat pesimis pemimpin kita. Contohnya, apa yang kita rasakan terhadap presiden kita? Benci, kesal, karena melihat keadaan negara yang begini-begini saja. Ada cuplikan yang cukup menyentuh saya ketika melihat film Red Cliff, yaitu adegan di mana tentara Cao-Cao—yang sedang terkena penyakit tifus—merindukan keluarganya di kampung halaman. Yang mengejutkan, apa yang dirasakan tentara tersebut juga dirasakan oleh Cao-Cao—bahkan lebih. Apa yang kemudian dilakukan Cao-Cao adalah menyemangati tentara-tentaranya bahwa mereka sekarang berada dalam nasib dan tujuan yang sama.
Perlunya merubah paradigma terhadap pemimpin. Saya mengibaratkannya dengan teori pragmatik dalam teori sastra. Teori pragmatik berpusat pada pembaca. Pembacalah yang berhak untuk menentukan apa isi dari karya sastra, baik-buruknya, dan sebagainya. Karena itu dalam teori ini akan banyak terdapat pendapat, hanya tidak semua pendapat memiliki tingkatan yang sama, tergantung dari analisis yang paling banyak diakui kevalidannya.
Kita juga sebagai seseorang yang dipimpin, memiliki hak yang sama dalam menilai objek kepemimpinan—orang lain, lingkungan—dan juga pemimpin kita. Sebagai seorang yang dipimpin, kita melihat nilai-nilai yang ada dalam kehidupan, menganalisisnya, dan pada akhirnya memberi solusi untuk setiap masalah yang ada. Hanya, kita seakan lebih ‘berkuasa’ dalam menentukan arah analisis kita. Namun kekuasaan ini yang nanti di akhir harus diarahkan dan diwadahkan dalam tempat yang sama.
Kesimpulannya, bukan pada masalah seorang pemimpin harus (hanya) seorang strukturalis dan yang dipimpin harus (hanya) seorang pragmatis, tapi bagaimana menyatukan nilai plus dan minus yang ada. Bukan salah ketika seorang pemimpin pragmatis melihat objek yang dipimpinnya dan bukan salah ketika seorang yang dipimpin begitu strukturalis melihat pemimpinnya. Sebagaimana layaknya sebuah teori—apalagi bidang sosial—tidak ada yang lebih benar dan lebih salah. Kebenaran dan kesalahan terkadang menjadi sesuatu yang relatif yang harus kita perbarui terus menerus, menyikapi hidup yang juga terus dinamis.
0 komentar:
Posting Komentar