rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Selasa, 19 Agustus 2014

Anggota Dewan yang Kusebut Ayah


Selamat Pagi Pak Dewan.
Hari ini sudah tanggal sembilan belas agustus, tapi aku tidak ingin berbicara tentang hari ini.
Aku ingin kembali mengingat kemarin.
Ya, kemarin tanggal delapan belas agustus.
Tanggal di mana aku terus berpikir apa yang bisa kuberikan untukmu di tanggal itu.
Di tanggal tersebut katanya dirimu sudah dilantik sebagai anggota dewan perwakilan rakyat daerah kota metro.
Dan di tanggal tersebut pula usia pernikahan dirimu dan ibuku sudah memasuki usia dua puluh tiga tahun.

Selamat Pagi Pak Dewan.
Kemarin, di hari pelantikanmu itu, sepatu jenis apa yang kau pakai?
Apakah kau mengenakan sepatu baru yang kau beli khusus untuk hari pelantikan tersebut?
Atau hanya mengenakan sepatu hitam lama yang kau semir hingga terlihat baru?
Aku cenderung memilih yang kedua.
Dengar-dengar, semakin lancip sepatu hitam yang dipakai oleh seorang birokrat atau politisi, semakin licin pula mereka terhadap jeratan hukum.


Selamat Pagi Pak Dewan.
Kemarin, pakaian apa yang kau pakai?
Apakah jas setelan baru yang kau beli khusus untuk hari pelantikan tersebut?
Atau jas setelan yang memang kau punya dan kau hanya kau setrika rapi untuk acara itu?
Aku cenderung memilih yang kedua.
Bahkan jikalau orang tak melihat seseorang dari penampilannya, aku lebih suka kau mengenakan pakaian kasual yang biasa kau kenakan saat mengantarku sekolah.

Selamat Pagi Pak Dewan.
Kemarin, makanan apa yang kau makan saat sarapan sebelum berangkat pelantikan?
Aku dengar, ibuku memasakkan gurame, lele untuk syukuran setelah pelantikanmu.
Pak Dewan, nanti mungkin kau akan makan makanan yang harganya tak sebanding dengan porsinya.
Nanti kau mungkin akan makan dengan table manner yang membuatmu tak bisa menikmati makanan dengan baik.
Tapi kuharap, jangan pernah lupakan nikmatnya belalang yang sering kau goreng sendiri saat senggang.
Atau nasi tiwul yang kadang kau lahap saat pergi ke rumah ibumu.
Atau juga setiap daging yang menempel di tulang yang tak habis dimakan anak-anakmu.

Selamat Pagi Pak Dewan.
Kemarin, mobil apa yang kau kendarai untuk menuju ke tempat pelantikan?
Mobil xenia sport putih yang biasa kau pakai kan?
Dan juga, aku cenderung suka kau tidak berniat membeli mobil baru?
Mobil dinas yang nanti mungkin akan kau dapat juga kuharap dikembalikan setelah masa tugasmu selesai.
Aku tak banyak mengerti tentang anggaran dan sebagainya.
Tapi yang kutahu ada uang-uang rakyat di situ, yang membiayai setiap langkahmu.

Selamat Pagi Pak Dewan.
Kemarin, saat sumpah pelantikan diikrarkan, apa yang kau rasakan?
Ketika kita sama-sama menyampaikan materi tentang syahadatain, sesungguhnya saat itulah kita juga diuji akan sumpah-sumpah lain yang berkenaan dengan amanah kita.
Tak ada sumpah yang lebih dashyat daripada syahadatain.
Tapi bukan berarti kita juga melenakan sumpah-sumpah lain yang kita ucapkan.
Aku harap, sumpah itu bagimu laksana syahadatain, yang buatmu menangis tatkala belum juga bisa memenuhi janji yang terkandung dalam sumpah tersebut.

Selamat Pagi Pak Dewan.
Apakah kau mau tahu bagaimana perasaanmu saat kau diumumkan terpilih sebagai anggota dewan?
Juga mendekati hari-hari di mana kau akan dilantik?
Sejak dulu aku sudah tahu bahwa kau bukan hanya milikku.
Bukan hanya milik keluargamu yang terdiri dari ibu, aku, said, fathi, lu’lu’, shofiyyah, dan syifa.
Aku tahu bahwa sibuknya engkau di siang-siang harimu,
Itu untuk orang lain.
Tak tidurnya dirimu,
Itu untuk orang lain.
Berkurangnya uang yang kau kirimkan padaku,
Itu juga untuk orang lain.
Kau milik masyarakat, meskipun mungkin hanya masyarakat kecil di kota metro.
Tapi aku tahu, bahwa itu berarti aku tak layak menuntutmu lebih.
Dan di sana pulalah, aku terlampau khawatir.
Terkadang aku hanya ingin dirimu tetap seperti ini, sebelum kau dilantik menjadi anggota dewan.
Aku ingin kau tetap menjadi orang yang bukan anggota dewan tapi sesungguhnya sudah melaksanakan tugas sebagai anggota dewan.
Tapi sekali lagi—katamu—dakwah memintamu untuk bergerak lebih maju.
Aku pun tahu bahwa kediaman, atau ketidaksediaan kita bergerak di ranah birokris politis tak akan mengubah bangsa ini.

Selamat, selamat untukmu yang sudah mau berjuang di kandang macan.
Mungkin nanti kau akan masuk ke kandang yang lebih ganas dan muram.
Tapi buatlah aku bangga.
Buatlah aku bangga bahwa kesediaanmu itu memang bukan untuk dirimu atau untuk kami—keluargamu.

Ajari kami untuk terus qana’ah dan tidak menuntut lebih atas status sosialmu yang mungkin lebih tinggi di mata orang sekarang.
Ajari kami untuk tidak menuntut.
Ajari kami untuk tidak jumawa dengan label sosial apapun, sehingga tidak ada tuntutan sosial yang mesti dipenuhi.

Selamat Pagi Pak Dewan yang Kusebut Ayah.
Jika kau tahu, bahkan aku tak bisa menyebut siapa tokoh idolaku selain dirimu.


2014년08월19일

Dalam jiwa di mana terpatri namamu, Ayah


0 komentar: