rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Sabtu, 31 Desember 2011

Pilrek, Demokrasi, Harmoni Masa Lalu Kini dan Nanti

Pemilihan rektor mungkin akan menjadi isu hangat pada tahun 2012 di UGM, meskipun terkadang konsumsi isu ini hanya berada pada tataran elit. Pemilihan rektor yang seyogyanya menjadi titik tolak penentu segala kebijakan yang nantinya akan diberlakukan di kampus kerakyatan ini.


Melihat dari sistem pemilihan rektor saat ini, banyak ditemui segi-segi ketidakdemokratisan di mana perwakilan mahasiswa maupun dosen tidak sebanding dengan jumlah keseluruhan civitas akademika yang ada di UGM. MWA hanya terdiri dari 1 mahasiswa S1 dan 1 mahasiswa S2, serta 20 orang dosen dari berbagai fakultas yang ada di UGM. Secara kuantitatif pun, sangat tidak merepresentasikan jumlah seluruh mahasiswa yang ada di UGM. Dilihat dari sudut pandang mahasiswa dan kualitatif, ketika 2 orang mahasiswa yang belum lulus beradu argumentasi dengan para dosen dan profesor yang secara ‘kasat mata’ memiliki kemampuan akademis yang lebih.
Wanna More.?

31 Desember 2011

usia merenungi masa melompat menuju tahap-tahap kehidupan yang membenda

usia merenungi waktu pergi ke tempat di mana 'masa membenda' kembali terlihat

usia merenungi periode mengurai kenangan-kenangan yang terus tersumbat gempita

usia, ada terus untuk dijalani

bukan menjalani...

Saya hanya kemudian mengingat ayah saya.

Dari satu tapak menuju ke tapak lainnya hingga kita terus berputar. Telah lelah saya menghitung dan sia-sia perhitungan itu. Kadang jiwanya merasuk begitu saja tanpa saya sadari. Saya telah terbentuk, karena dia tahu tugasnya adalah membentuk.

Dari satu pemberhentian menuju ke pemberhentian lainnya hingga kita sadar kita terus berjalan. Mungkin terlihat stagnan di sini ketika saya dan dia jauh. Tapi ternyata hati terus mengontrol, hati terus berdetak mengingatkan kata-kata yang telah tertanam. Tidak, dia tidak di sana, tapi juga di sini membersamai waktu saya.

Dari satu kata menuju kata lainnya hingga kita sadar kita adalah verbal. Tapi sayang itu bukan terletak pada kata saja. Sayang itu terkadang terlalu malu diungkapkan pada objek utama, tapi dia sumringah diajukan pada objek-objek pendamping. Merasai bukan di hadapan kita dia membanggakan, tapi di hadapan orang lain yang mungkin harus tahu. Merasai di hadapan kita saja dia mengkritisi, bukan untuk diumbar di depan orang yang mungkin tidak tahu pun tak apa.

Dari satu nasihat menuju nasihat lainnya hingga kita sadar kita tak dilepaskan sendiri. “Do’a itu selalu didengar dan dikabulkan di dunia ini. Hanya terkadang kita tak sadar Allah telah mengabulkan do’a kita.” Membuat saya percaya bahwa sayang-Nya tak pernah ditunda-tunda, hanya Dia mengarahkan dan membuat kita sadar sesuatu yang berbeda dari keinginan adalah lebih baik.

Saya hanya kemudian mengingat Ibu saya.

Dari satu lipatan menuju lipatan lainnya hingga kita sadar kita telah berkarya. Bahkan dia mengajarkan bukan lewat kata, tapi lewat hati. Lipatan-lipatan risoles yang mungkin dia buat dan dia ajarkan, terselip cinta yang kemudian melipat-lipat. Rumit tapi tetap ada. Bukan dengan kata Ibu menyayangi, tapi dengan pelukan.

Dari satu genggaman menuju genggaman lainnya hingga kita sadar kita telah bersama. Bukan ikatan nyata yang menyatukan. Bukan kebersamaan raga yang menyatukan. Tapi jarak yang menimbulkan rindu. Tapi rindu kemudian yang menostalgiakan kembali kerlingan-kerlingan indah. Rindu membesar bersama waktu walau terkadang tak terungkap ketika kedua mata beradu.

Dari satu diaman menuju diaman lainnya hingga kita sadar bukan kemarahan yang ada. Hanya teguran kecil, mengingatkan bahwa kita tidak berjalan sendiri. Hanya teguran kecil, mengingatkan bahwa di dunia ini ada orang lain yang harus kita dengar.

“Perempuan membutuhkan bahasa mereka sendiri. Laki-laki selalu mencari dan membangun rumah bagi mereka sendiri: gua, pondok, perempuan, kota, teori, konsep, bahasa. Demikian pula perempuan memburuhkan rumah bahasa (House of Languange); mereka membutuhkan rumah tinggal yang tidak memenjarakan mereka, sebagai ganti penjara yang tidak tampak yang menempatkan mereka sebagai tawanan; tempat tinggal yang memungkinkan mereka tumbuh kembang adalah prasyarat mereka untuk menjadi.” (Irigaray)

Dari satu masa menuju masa lainnya, ya saya memang bertambah tua.

Bahkan beberapa menit lagi yang menjadi penanda terus menghantui saya akan kepingan-kepingan masa lalu yang harus saya satukan kembali, menjadi sesuatu yang membenda dan bisa saya lihat kembali dengan baik. Bahkan beberapa menit lagi di atas tradisi-tradisi lama yang telah membelenggu dan membeku hingga resah saja yang ada.

Saya teringat semua, adik-adik saya di rumah yang mereka bukan menyayangi lewat benda. Mereka membanggai bukan saat raga ini mendampingi, tapi saat raga menjauh hingga rindu semakin membuncah. Mungkin sapaan setiap hari itu ungkapan sayang mereka, saya saja yang kadang teramat angkuh menganggap itu gangguan.

Saya teringat mereka yang belum dengan baik saya ayomi, Said, Fathi, Luk-Luk, Shofiyya, Syifa. Kadang saya saja yang tidak sadar apa yang saya lakukan mungkin yang akan mereka lakukan ke depan. Berada di garda terdepan mungkin memang menjadi tapak langkah. Baik berujung baik buruk berujung buruk. Hanya lupa, dan abai selama ini.

Saya teringat teman-teman saya, yang selama ini ada baik selalu maupun tidak selalu. Teman yang terkadang saya sendiri mengacuhkan. Miris, padahal mereka selalu ada untuk saya. Hanya satu pembelaan yang bisa saya beri, saya manusia abai. Mungkin kita sekarang masih merangkai jalan kita masing-masing, belum bisa memaknai arti waktu itu sendiri. Saya berharap nanti, nanti ketika masa bertemu waktu, kita saling membuka mata kita ditakdirkan dulu hingga sekarang untuk memaknai.

Saya teringat guru-guru saya, yang dari saya kanak hingga saya sekarang terus membersamai. Guru yang menyatukan shen-shen murid-muridnya. Yang merangkai monomer-monomer menjadi polimer, terseling pada considenta oppositorum yang kerap terjadi. Guru yang terus bersabar ketika muridnya terus berprokreasi seperti Chaos dan Gaia, atau membuat suasana seperti saat Demeter meninggalkan Olympus untuk Persephone. Guru yang begitu tulus berbagi lugos dan cheng yang mereka miliki.

Dan yang lain, yang tak bisa saya sebutkan di sini. Dari tetangga yang ikut mengasuh saya hingga pekerja yang mungkin merelakan waktunya untuk merakit netbook yang saya gunakan untuk membuat tulisan ini.

Tak ada kata lagi karena kata adalah penanda dan pertanda, yang semakin dimaknai kita tahun bahwa makna itu menuju makna yang lain.

Tak ada kata lagi karena kata hanyalah tonggak awal dan harus diwujudkan lewat perbuatan.

Semakin saya menyadari saat ini, semakin saya memaknai waktu kadang menjadi cemooh. Saya tahu saya ditunggu dan menunggu. Maka semoga tidak lagi cemooh itu ada.

하숙집에서

2011년12월31일

생일이었는데...

Wanna More.?

Sabtu, 03 Desember 2011

한건미...: Strukturalisme dan Pragmatisme Kepemimpinan

한건미...: Strukturalisme dan Pragmatisme Kepemimpinan

Wanna More.?

Strukturalisme dan Pragmatisme Kepemimpinan

Berbicara mengenai kepemimpinan, sesungguhnya bukan hanya berbicara mengenai sosok ideal seorang pemimpin. Selama ini kita terus menerus disibukkan dengan siapa yang cocok menjadi pemimpin, karakter-karakter apa saja yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin, dikaitkan dengan kebutuhan bangsa.

Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Kepemimpinan memang berbicara tentang seorang pemimpin. Tapi terkadang kita terlupa bahwa dalam suatu sistem selalu ada pemimpin dan orang yang dipimpin. Orang sering lupa akan unsur kedua, mengenai orang yang dipimpin.

Dalam Islam, memang sudah ada term yang membahas tentang Al-Qiyadah wal Jundiyah. Dalam konsep ini, unsur yang terpenting adalah adanya kebiasaan interaksi, terbinanya hubungan hati dan jiwa yang sehat tanpa bermodal oleh hal-hal yang membuat kedua belah pihak tersakiti. Hal inilah yang akan melahirkan tsiqah mutabadilah atau timbal balik (Ahmad, 2005:20). Di dalam konsep ini kita melihat bahwa pentingnya memenuhi ketaatan yang dilakukan oleh orang yang dipimpin, dan ketaatan ini tidak akan timbul jika pemimpinnya tidak menimbulkan perasaan tsiqah (percaya dan rasa puas) kepada bawahannya.

Terkait sinergitas antara pemimpin dan orang yang dipimpin dalam suatu kepemimpinan, saya jadi teringat akan dua teori fundamental dari teori sastra, yaitu teori strukturalisme dan pragmatik. Teori strukturalisme adalah teori yang meneliti dan menelaah unsur-unsur internal yang ada dalam suatu karya sastra. Sedangkan teori pragmatik adalah teori yang berpusat pada pembaca.

Strukturalisme adalah cara pandang. Seorang pemimpin harus memandang dengan detail bahkan bukan hanya sekedar dari hal-hal yang bersifat fisik, namun juga hal-hal bersifat non-fisik. Strukturalisme adalah cara pandang apa adanya. Seorang pemimpin memandang musuh, rakyat, dan tentaranya secara apa-adanya, sesuai fakta yang ada. Terkadang sebuah karya sastra tidak dapat dipahami sekali pandang. Untuk menganalisisnya melalui pendekatan struktural, seseorang benar-benar harus mengamati apa saja yang ada dalam karya sastra tersebut. Bagaimana temanya, tokoh dan penokohannya, alurnya, hingga settingnya. Unsur-unsur ini ketika disatukan dan dirangkai, dapat digunakan untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dimaksud oleh pengarang, walaupun hal yang niscaya ketika dua orang sama-sama menganalisis dengan metode ini, tetap akan ada perbedaan.

Seorang pemimpin diciptakan dengan lingkungannya sendiri-sendiri, momentum-momentum tersendiri. Thomas Carlyle, filosof dan sejarawan Skotlandia merumuskan teori heroic determinism sebagai berikut: “Pada seluruh babakan sejarah dunia, kita akan menemukan Manusia Besar sebagai juru selamat yang niscaya di zamannya; sebagai sambaran kilat yang tanpa itu bahan bakar tidak akan terbakar. Sejarah Dunia ... hanyalah biografi Manusia Besar.” (Rakhmat, 1999:174).
Menurut Jalaluddin Rakhmat, seseorang menjadi manusia besar—pemimpin—ketika dia memiliki kemampuan intelektual untuk memahami realitas dan kemampuan bertindak yang tepat. Dia bukanlah seseorang yang hanya berkutat pada teori filsafat yang berupa konsep dan gagasan besar. Tapi ia harus bisa menangkap realitas. Ia harus mengerti apa yang terjadi pada zamannya (Rakhmat: 1999: 174).
Jika Anda pernah melihat film Red Cliff, tokoh-tokoh yang ada dalam film tersebut menempati posisinya masing-masing. Zhu-ge Liang sebagai pengatur strategi, Zhao Yu sebagai jenderal perang, Liu Bei sebagai seorang pemimpin yang membawahi para pemimpin, maupun dari pihak lawan Cao-Cao sebagai jenderal perang, dan anak buahnya yang berada di pos masing-masing, apakah angkatan laut maupun angkatan darat. Setiap dari mereka memiliki sudut pandang tersendiri dalam menghadapi realita yang ada di zamannya. Sudut pandang yang berbeda ini akhirnya menghasilkan gagasan dan kontribusi yang sesuai. Gagasan-gagasan ini jika tidak berkumpul pada satu tempat yang tepat, maka hanya akan menghasilkan konflik. Tetap diperlukan seseorang yang benar-benar mengampu seluruh ide dan gagasan anak buahnya. Seorang pemimpin yang baik harus tahu bagaimana menempatkan dan mengarahkan gagasan yang dimiliki olehnya dan oleh anak buahnya.

Terkadang klise ketika memikirkan bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang harus tahu segalanya, meskipun hanya pada taraf permukaan. Tapi mau tidak mau kita—bukan hanya pemimpin—memang adalah orang yang dituntut untuk paripurna, karena kita hidup di zaman yang kompleks. Kita hidup di zaman di mana bukan hanya satu ras bangsa yang hidup, satu suku, dan karena kita hidup bukan untuk sendiri—adakalanya diri kita pun heterogen.

Pemimpin strukutralis, mungkin itu yang saya tawarkan untuk minimnya pemimpin saat ini. Pemimpin yang melihat secara struktural dan utuh objek yang akan mereka pimpin. Pemimpin yang mampu menganalisis dan akhirnya menyimpulkan juga memberi solusi untuk keadaan yang mereka alami saat ini. Kita sering terkagum-kagum akan tokoh-tokoh pemimpin yang ada dalam cerita fiksi maupun film—melihat keparipurnaan yang ada. Tapi tak dapat dipungkiri juga bahwa hal itu bukan tidak mungkin. Paripurna memang sesuatu yang musykil—hanya ada satu yang paripurna, Rasulullah—tapi perjalanan menuju keparipurnaan itu pun sesungguhnya adalah kesempurnaan.

Kedua, ketika pemimpin sudah ada, maka akan ada pula yang dipimpin. Terkadang kita terlalu melihat pesimis pemimpin kita. Contohnya, apa yang kita rasakan terhadap presiden kita? Benci, kesal, karena melihat keadaan negara yang begini-begini saja. Ada cuplikan yang cukup menyentuh saya ketika melihat film Red Cliff, yaitu adegan di mana tentara Cao-Cao—yang sedang terkena penyakit tifus—merindukan keluarganya di kampung halaman. Yang mengejutkan, apa yang dirasakan tentara tersebut juga dirasakan oleh Cao-Cao—bahkan lebih. Apa yang kemudian dilakukan Cao-Cao adalah menyemangati tentara-tentaranya bahwa mereka sekarang berada dalam nasib dan tujuan yang sama.

Perlunya merubah paradigma terhadap pemimpin. Saya mengibaratkannya dengan teori pragmatik dalam teori sastra. Teori pragmatik berpusat pada pembaca. Pembacalah yang berhak untuk menentukan apa isi dari karya sastra, baik-buruknya, dan sebagainya. Karena itu dalam teori ini akan banyak terdapat pendapat, hanya tidak semua pendapat memiliki tingkatan yang sama, tergantung dari analisis yang paling banyak diakui kevalidannya.

Kita juga sebagai seseorang yang dipimpin, memiliki hak yang sama dalam menilai objek kepemimpinan—orang lain, lingkungan—dan juga pemimpin kita. Sebagai seorang yang dipimpin, kita melihat nilai-nilai yang ada dalam kehidupan, menganalisisnya, dan pada akhirnya memberi solusi untuk setiap masalah yang ada. Hanya, kita seakan lebih ‘berkuasa’ dalam menentukan arah analisis kita. Namun kekuasaan ini yang nanti di akhir harus diarahkan dan diwadahkan dalam tempat yang sama.

Kesimpulannya, bukan pada masalah seorang pemimpin harus (hanya) seorang strukturalis dan yang dipimpin harus (hanya) seorang pragmatis, tapi bagaimana menyatukan nilai plus dan minus yang ada. Bukan salah ketika seorang pemimpin pragmatis melihat objek yang dipimpinnya dan bukan salah ketika seorang yang dipimpin begitu strukturalis melihat pemimpinnya. Sebagaimana layaknya sebuah teori—apalagi bidang sosial—tidak ada yang lebih benar dan lebih salah. Kebenaran dan kesalahan terkadang menjadi sesuatu yang relatif yang harus kita perbarui terus menerus, menyikapi hidup yang juga terus dinamis.
Wanna More.?